Selasa, 07 Agustus 2012

Antara perasaan dan Gempa….

Gempa itu tidak permah bisa diprediksi, sama professor secanggih apapun, ia akan tetap musykil untuk ditebak kapan ia muncul. Maka kita hanya perlu waspada dengan pemahaman yang baik.
Begitu pula halnya dengan perasaan, secanggih apapun sang psikolog yang memeriksanya. Perasaan tetaplah perasaan. Perasaan selalu sederhana tak bisa kau paksakan kehendakmu pada seseorang, begitupula sebaliknya. Tentunya kau hanya berprasangka bahwa perbuatanmu hanya sebatas mengingatkan, berbeda dengan prasangka orang yang terus kau ingatkan. Mungkin saja perbuatanmu itu merupakan hal teristimewa baginya. Tak ada yang dapat memprediksi perasaan seseorang.
Maka Tak ada yang salah jika perasaannya seperti ini, tak ada yang salah dengan ciptaan-Nya terhadap dirimu.
Yang salah adalah ketika kau memaksakan keadaan untuk memahami perasaanmu. Engkau terlalu egois untuk memaksa alur cerita yang Alloh buat dalam kehidupanmu.
Niat memang menentukan perbuatan seseorang sampai-sampai pemahaman kita yang bakal didapatkan pun tergantung niat. Namun perlu kau tahu, tidak semua orang untuk tetap istiqomah menjaga niatnya. Dan tak perlu lah kau kira setan itu akan diam menggoda niatmu. niat sebagai malaikat pengingat kebaikanpun akan dibelokkan dan disamarkan setan hingga kau membuat jurang pelanggaran itu semakin dalam.
Sekali lagi, tidak semua orang memahami perasaan yang kau maksud. Tak perlu kau memaksa kehendak dan mengumbar jika perbuatan itu adalah bermaksud kebaikan.
Sama sepertinya gempa, kau terlalu mengkhawatirkan efek atas kekuatan gempa yang muncul di kemudian hari. Engkau terobsesi untuk terus mengkira-kira. Berapa kekuatannya, kapan terjadinya, dimana terjadinya. Engkau takut semua itu akan mengambil apa yang kau miliki. Padahal Allah ta’ala diatas sana telah memerintahkan pada kita untuk terus tawakkal. Tak perlu kau takutkan untuk hari esok. Separah apapun kekuatan gempa memporak-porandakan wilayahmu, tetap saja tak ada yang perlu kau takuti dan tangisi. Karena sesungguhnya apa yang ada di bumi dan langit ini merupakan hak seutuhnya milik-Nya.
Perasaaan itu sederhana. Tak perlu kau hiraukan sejauhmana respect dirinya terhadap perasaanmu. Tak perlu kau khawatirkan scenario-Nya tak sesuai kehendakmu. Karena apapun yang khawatirkan tak sepenuhnya akan terjadi, semua ini dan nanti adalah scenario-Nya. Apapun yang diberikan pada-Nya atas hidup dan perasaan kita adalah yang terbaik bagi hidup kita kelak.
Gempa itu selalu menimbulkan efek gelombang primer, rayleight, bahkan love. Entahlah apa istilah yang dikeluarkan oleh para ahli itu. Namun yang kupahami, gempa selalu menyesuaikan dirinya dengan gelombangnya. Yang sampai saat ini ditakuti penduduk di muka bumi ini. Gempa sesungguhnya efek atas dorongan tekanan magma yang menghendaki lapisan litosfer kita dipengaruhi oleh cairan kental yang tidak stabil. Astenosfer. Jadi, sama sepertinya perasaan, perasaan suka, duka,bahkan cinta sekalipun merupakan efek diri kita yang mendorong dan menetapkan seberapa besar kita memposisikan mereka. Efek gelombang gempa yang mahadahsyat akan timbul di permukaan ketika terjadi pada gelombang panjang, gelombang yang ketiga setelah gelombang pertama dan kedua.
Ibarat hadits nabi yang memperingatkan kita : “pandangan pertama itu merupakan sebuah rezeki, kedua dan ketiga adalah panah setan”
Ya seperti itulah, perasaan. Kau akan terus menikmati dan menjaga perasaan itu hanya dengan mengingat pada yang memiliki perasaan ini yaitu Allah ‘azza wa jalla. Kau akan terus merutuki perasaan itu ketika memposisikan rasa aneh itu berkeliaran bebas dalam hidupmu. Namun kau akan merasa itu fitrah ketika kau mampu menjaga dan mengunci rasa itu untuk tidak menjalar kemanapun ia suka.
Tak perlulah kita merasa gentar akan hal yang terjadi esok dengan perasaan ini, karena sesungguhnya tuhan Rabb diatas ‘Ars-Nya sana akan terus menjaga hati kita dari perasaan yang tak menentu, ketika kita meminta pada-Nya untuk terus menjaga ini semua.
Inspired by a novel “kau, aku, dan sepucuk angpau merah” tere liye…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar