Selasa, 10 November 2015

Menjadi pembelajar


Keleahan saya sudah diatas ambang. Hari ini kelas sudah benar-benar riuh oleh tingkah laku anak-anak. Sebagai pendidik untuk menguasai kelas, kuncinya hanyalah kesabaran dan komunikasi dengan mereka. Objek kita adalah manusia, yang mereka memiliki sistem dengan kerumitan tingkat tinggi. Kenapa saya bilang seperti itu. Karena mereka adalah manusia, sama seperti kita. Seorang manusia memiliki 3 ranah, kognitif (kecerdasan mereka). Psikomotorik (keaktifan mereka) dan afektif (sikap serta emosional mereka). Masing-masing mereka memiliki karakter yang berbeda. Sebelum kita menilai kepribadian mereka, adakalanya kita butuh historical diri mereka di rumah. Perlakuan yang didapat dari keluarga, teman, bahkan dari lingkungannya. Adakalanya anak-anak hanya sebatas mencontoh, tanpa tahu itu perbuatan kesalahan atau kebenaran.  Mereka merupakan peniru ulung atas apa yang mereka lihat. Yang mereka anggap seru, suatu saat akan mereka ulangi dan sebarkan ke dalam kelas.

Menjadi pembelajar dalam suatu kelas merupakan tugas utama bagi guru (red: si pembelajar). Alasannya adalah setiap detik kita akan belajar suatu hal dari mereka yang harus kita temukan jawabannya. Banyka sekli persoalan yang mereka lemparkan pada kita. Soal bagaimana kita dapat menemukan jawaban atas masalah ketidak moody’an mereka dalam belajar, menghafal, menghitung, membaca dan segalanya. Kita harus menemukan jawaban atas pertanyaan mereka. Yang kadang si pembelajar ini harus mencari referensi dari temen-teman pembelajar di ruang lain. Bagaimana kita bisa menjadi pendidik tanpa sebuah pembelajaran. Pendidik berarti mengatur polah tingkha laku mereka dari keburukkan menjadi kebaikan. Dari kesalahan menjadi kebenaran. Adakalanya kita harus mengakui jawaaban yang kita berikan kepada mereka adalah sebuah kesalahan. Misalnya, mereka melontarkan pertanyaan dalam sebuah sikap yang enggan mengerjakan latihan hari ini. Lantas kadang beberapa pembelajar ini memberikan jawaban “kamu harus mengerjakan latihannya, nanti jika tidak dikerjakan. Kamu akan tidak bisa,dst”. Menurut saya, jawaban si pembelajar ini salah. Kenapa saya katakana seperti itu. Karena, jawaban yng diberikan olehnya tidak akan memecahkan masalah. Kita harus temukan dulu, dimana letak masalah anak ini sehingga tidak ingin belajar. Kita coba dekati dulu dengan pendekatan 5D, yaitu perasaannya didengar, dikenali, diterima, dimengerti, dan dihargai. Begini contohnya :
“kok tidak dikerjakan ?”
“…diam seribu bahasa dengan wajah ditekuk…”
“laper ya?”
“…menggeleng…”
“ngantuk ?”
“….menggeleng…”
“susah soalnya?”
“…menggeleng…”
“terus?”
Biasanya dia akan mengeluarkan suara mesti
“hmmm…”
Disini kita sabar untuk mendengarkan perasaannya.
“aku gak punya pensil” ucapnya.
Inilah letak masalahnya. Berarti kita harus mencari tahu jawaban atas soal yang dia berikan pada kita.
“ooh,, ga ada pensil. Yaudah kita cari siapa yang punya pensil banyak” ucap saya padanya.
Disini saya mulai mencari tau menanyakan kepad teman-temannya yang punya pensil lebih dari satu untuk dipinjamkannya. Setelah dia menemukan pemecahan atas masalahnya, in syaa Allah dia akan mulai mendengarkan apa yang kita suruh.

-         ------ Ini episode kelas hari ini. Mungkin lain kali saya akan menceritakan episode dengan kasus-kasus berat di kelas menurut saya (lebay sepertinya..hhe). dan perlu diketahui oleh pembaca, saya memang saat ini sedang menjadi pemberlajar dalam kelas saya sendiri. Seorang sarjana pendidikan dengan konsentrasi anak-anak usia SMA tapi dilempar Tuhan ke dalam kelas usia sekolah dasar. Ini merupakan tantangan bagi saya. Semoga ini semua menjadi amal shalih saya untuk menuntun saya ke syurga. Aamin. Dan perlu diketahui, saya banyak belajar dari kakak kelas dan teman-teman saya dalam grup “Homeducation” yang dibuat oleh ummu uwais. Kakak kelas sma sekaligus tempat kembali saya jika perlu pemecahan masalah dalam hidup saya. Hehe..
-          Semoga tulisan saya bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar