Saya kangen masa-masa itu. Masa dimana tidak ada beban
di pundak untuk menyelesaikan kewajiban. Saya tak pernah mengerti mengapa harus
diperlakukan layaknya orang-orang yang ditekan untuk bersabar. Saya hanya ingin
lulus itu saja. Saya ingin menyelesaikan itu secepat kilat. Saya tau ini adalah
konsekuensi keputusan saya 4 tahun silam untuk mencari ilmu dan faedah di
dalamnya. Tapi bukankah seseorang yang ingin menyegerakan kelulusannya itu
adalah hal yang amat istimewa. Memudahkan urusan urusan orang lain akan
menghasilkan kemudahan bagi dirinya sendiri. Saya juga tak pernah tahu apakah
di luar negeri sana mahasiswa harus mengalami fase seperti ini. Melalui
masa-masa yang dipersulit oleh sang pakar ilmu kepenelitian yang diambil. Bagi
saya suatu kehormatan yang amat tinggi jika ada seorang pakar mau memudahkan
mahasiswanya untuk lulus. Tapi pada faktanya banyak teman-teman pun harus
melalui fase ini. Fase dimana harus menunggu dan menunggu, hingga akhirnya
kelulusan yang ada harus ditunda dalam beberapa waktu yang lama. Membuat
mahasiswa di negeri ini sangat jarang sekali yang lulus dengan tepat waktu.
Saya kangen di masa-masa memakai baju seragam baju
merah-putih. Berlari ke sana kemari mengejar satu sama lain. Berjingkat-jingkat
dari kejaran teman. Mengumpat di satu dinding lemari. Menerpa semilir angin
yang datang dari segala arah. Masa-masa dimana guru antusias mengajarkan
muridnya untuk lebih cerdas dari sebelumnya. Mengajarkan angka matematis
ataupun perubahan alam di luar sana. Kami selalu tidak pernah berfikir ada guru
yang jahat menelantarkan muridnya yang antusias untuk belajar.
Belajar bahwa
hidup itu butuh ilmu, bersaing dengan orang-orang di luar sana. Satu dua kali kami membandel tidak mendengarkan
perintah mereka, tapi mereka dengan tulus memperhatikan kami, menegur agar
serius belajar dalam kelas. Kelak kami menjadi orang dewasa yang cerdas dan
siap bersaing melawan pahitnya dunia ini. Hanya orang-orang yang cerdaslah yang
dapat bertahan hidup, itu yang dapat ku petik dari pembelajaran budi pekerti
yang mereka ajarkan. Kepala sekolah kami yang merangkap sebagai guru IPA,
galaknya luar biasa. Beliau mendidik kami dengan pembelajaran yang unik. Beliau
mengantarkan muridnya dalam bersaing mendapatkan beasiswa. Ya, saya kangen
masa-masa itu. Kangen diperhatikan oleh guru-guru tercerdas sepanjang masa.
Mengajarkan kami anak-anak dari pemukiman kumuh. Mengajarkan kami betapa
belajar itu perlu kesabaran. Sabar dalam mengikuti semua pelajaran hingga
selesai. Saya tak pernah menyangka sampai sejauh ini saya melangkah, menjadi
mahasiswa yang masih amat sempit wawasannya.
Saya kangen masa dimana kami mengambil daun cincau dan
dibuat sendiri di rumah. Memetik daun itu di halaman sekolah kami dulu. Sekolah
yang tidak memiliki ruang guru. Sekolah yang hanya memiliki satu ruang
administrasi yang digabung dengan ruang kepala sekolah. Ruang sempit nan pengap
ditambah bocor ketika hujan tiba. Semua repot dengan kelakuan tingkah
masing-masing ketika hujan turun. Menadangkan air hujan yang turun dari dahan
pohon dan atap genting sekolah. Menciprat-cipratkan air ke wajah teman-teman.
Berteduh hingga hujan reda di lorong-lorong sekolah. Atau menunggu jemputan
sanak saudara membawakan payung. Berjalan pelan agar baju tak kecipratan dan
membuka sepatu agar tidak kebahasan.
Saya kangen berteriak-teriak gemas menanti teman agar
tidak tertangkep saat bermain “bentengan”. Salah satu permainan anak kampong,
yang harus menjaga pertahanannya dari lawan. Tertangkap jika terkena tepukkan
lawan. Menjadi sandera lawan dan harus dibebaskan, agar benteng kami banyak
yang menjaganya. Indah sekali masa-masa ini, masa-masa tak ada rasa beban, tak
ada rasa kesal, tak ada rasa iri atau apapun itu. Walaupun kami takut atau
gelisah, tetapi itu tak pernah ada di kepala, itu hanya sebuah warna dalam
hari. Esok lusa pun akan terlupakan sendiri. Kami selalu bercengkrama,
memasak-masakkan, berjalan-jalan, memanjat pohon jambu. Semua tak ada beban di
hati. Indah sekaali masa itu.
Tapi seindah apapun masa lalu, itu hanya masa lalu.
Sudah usang termakan waktu. Tak dapat di putar kembali. Ia hanya indah jika
dikenang, tak lebih tak kurang. Duhai adakah urusan ini kelak menjadi urusan
yang indah dan tak menjadi beban dalam hidup saat ini. Urusan orang dewasa
memang rumit. Mesti memahami tidak boleh tidak dipahami. Semua menjadi kelam
ketika tidak ada kata “sabar” dalam menjalaninya. Semua harus menggunakan kata
“ikhlas” dalam menerimanya. Tokoh utama dalam cerita kita adalah diri kita
sendiri. Kita yang mampu menyelesaikannya, kita yang mampu melaluinya dengan
ikhtiar dan tawakkal pada-Nya. Percayalah akan janji-Nya bagi orang-orang yang
bersabar dan bertaqwa pada-Nya. Kelak kita akan memetik janji-janji kehidupan
yang lebih manis dari ini semua. Aamin.
Jakarta, 18 februari 2013.
-Sore yang mendung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar