Ada saatnya kita berjalan sendiri-sendiri menghadapi
kesibukkan masing-masing. Di siang senin ini, matahari terus mengeluarkan terik
panasnya hingga antara aku dan bayanganku berhimpitan satu sama lain. Kami
berjalan mengikuti arah kesibukkan masing-masing. Oh tidak, kamu tidak
melakukan aktivitas apapun. Aku disini sendiri melakukan aktivitasku tanpa
siapapun. Oh tidak juga, aku melakukan ini bersama Allah di ‘arsy sana. Dia
selalu ada untukku kapanpun dan dalam kondisi apapun. Oh iya satu lagi, Allah
tidak akan pernah mendustaiku. Dia selalu menjagaku, meskipun oranglain peduli
tapi Dia lebih peduli melebihi kepedulian keluarga kita, begitu kata nabi
salallahu ‘alayhi wassalam.
Ada saatnya pembicaraanmu mulai berubah arah layarnya.
Dulu, iya dulu sekali ketika kita masih memakai jilbab peniti warna putih.
Kemeja warna putih yang diselingi dengan rok abu-abu dan rok putih seringkali
pembicaraan ngalor ngidul kita adalah tentang PR, guru pelajaran, peralatan
seni rupa, peralatan praktikum biologi, lari-lari ketika olahraga, pidato
kepsek, do’a si petugas upacara, pelantikan, kakak kelas, adik kelas, dll. Iya
kita dulu asik membicarakan itu semua. Asik makan di masjid, asik ngobrolin
acara sekolah serta asik pula membicarakan si dia. Iya si dia, si dia yang kita
taksir di dalam diam.
Bukan, tulisan ini bukan untuk membicarakan si dia
yang sudah tertinggal bertahun-tahun ke belakang dan saat ini mungkin sudah
digantikan posisinya oleh seseorang kunci syurgamu. Yang kemarin kakak kelas
bercerita bahkan posisinya melebihi bakti kita pada orang tua kita. Dan aku
telisik lagi pada sabdanya salallahu ‘alayhi wassalam ternyata sampai-sampai wanita
harus mencium kakinya saking besarnya bakti kita pada dia. Iya dia yang akan
menjadi tumpuan layar perahumu.
Pembicaraan kamu akan berbelok layarnya pada
kesibukkan mu saat ini, yang mungkin buatku terlalu risih untuk saat ini.
Tidak, bukan risih tapi mungkin aku pandang ini terlalu belum bisa kupraktikan
secara langsung dalam kehidupanku. Tidak
ada lagi mungkin nanti pembicaraan tentang nasihat menasihati kebaikan lagi.
Karena kupukir engkau sudah mencukupi diri terhadap nasihat si pemegang kunci
syurgamu. Bahkan kini akulah yang harus terus memahami keadaanmu. Dimana dirimu
kini harus membagi waktu untuk mendapatkan syurga-Nya. Iya, kini aku harus
membangun benteng pemahaman yang tangguh, hingga ada udzur bagiku memaafkanmu
karena kesibukkanmu dalam meraih syurga-Nya.
Pembicaraanmu kini mulai membuka wawasan untuk diriku,
bahwasanya hidup dalam bahtera seperti itu tidak sepenuhnya menjanjikan
kebahagiaan. Kadang tetes demi tetes air mata menghampiri pipimu yang teduh.
Bahkan lebih banyak dari itu. Karena kita dituntut untuk bisa memendam ke-egoan
diri sendri, pun kebahagaian untuk hati sendiri. Karena menurutmu, dunia ini sementara.
Lagi, lagi kubuka sabda nabi, ternyata dunia ini hanya selebar sayap nyaamuk
dan lebih hina dari bangkai kambing yang hitam. Atas dasar hal inipula aku
belajar kembali bahwasanya kita harus terus memahami dan memberi udzur pada
mereka sahabat tercinta kita yang sudah berbeda setiap kondisi dan keadaannya.
Jangan takut, iya jangan takut kita sendiri. Karena
pada asalnya kitapun terlahir di dunia ini sendiri dn nanti beakhir dengan
kesendirian. Kita takkan sendiri, karena Dia yang di ‘arsy sana berfirman dalam
kitab sucinya yang teramat mulia : “innallaha ma’ashobirin…”. Allah bersama
orang-orang yang sabar, maka jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai penolongmu.
Suara alunan ayatNya mulai terdengar sayup dari
speaker masjid. Terik matahari mulai berjuntai di setiap sudut bumi ini. Memanaskan
aspal yang berdebu dan memberikan peluh bagi orang-orang yang mencari
penghidupan di muka bumi ini. Aku mengetik satu per satu huruf ini, seperti
menjalani kehidupan ini. Berjalan hari demi hari, hingga menemukan bahwasanya
kehidupan ini layaknya menanam sebuah pohon, kelak dengan sabar kita kan meraih
buahnya.
Aku belajar darimu betapa rasanya memahami itu indah.
Terus menerus memahami keadaanmu hingga tak ada lagi kabar darimu, meski
menanyakan sebuah kabar. Tapi tahukah kamu, menunjukkan wajah ceria dihadapan
saudaramu adalah shadaqoh. Apalagi sampai berempati pada keadaan saudaramu. Ah,
sudahlah. Aku masih punya banyak cadangan rasa memahami.iya memahami keadaanmu
saat ini. Hingga mungkin nanti ketika engkau butuh padaku, aku akan tetap
menjulurkan tanganku dengan lebar, menyambut dirimu yang ringkih menghadapi
persoalan hidupmu disana. Tapi, iya tapi jangan kau berharap pertolonganku.
Mintalah pada Dia di arsy sana. Dia sungguh baik, selalu baik bahkan setiap
detik pada diriku. Dan aku yakin Dia pun baik padamu yang telah memberikan
kunci syurgaNya duluan padamu. Aku iri itu. Sungguh iri padamu yang telah Allah
berikan suatu kenikmatan karena memberikan lebih banyak kesempatan lebih dulu
menyempurnakan agama padamu hingga lebih banyak kesempatan memberikan pahala
dalam berbakti pada kunci syurgamu. Iya, inilah pula suatu alasanku rasa memahamimu
hingga kapanpun.
Ah iya, aku lupa. Ada sesorang selain dirimu yang
mengatakan padaku. Bahwasanya tak perlu kita memaksakan bisa berada pada tahap
dirimu saat ini. Karena untuk mencapai pada fase dirimu, seorang waanita perlu
mental yang kuat. Perlu kesabaran yang luas. Seseorang itupun membagikan
sedikit ilmunya.ah tidak sedikit, malah sungguh banyak. Bahwasanya kita harus
bisa menahan ke-egoan kita ketika kita ditinggaal oleh aktivitas si kunci
syurga kita. Kita harus bersabar ketika episode hati kita terluka karena ada
seseorang yang Allah ciptakan untuk menguji kesetiaan kita. Ah iya, aku lupa
bahwasanya si kunci syurga itu pun rupanya manusia yang memiliki segudang harga
diri. Memiliki perasaan pula seperti kita. Maka hendaknya kita menjunjung
tinggi perasaannya. Jika tidak suka atas perlakuannya terhadap kita maka
hendaknya kita diam. Menyimpan itu semua di dalam hati kita sendiri. Atau bisa
berbagi pada-Nya di ‘Arsy sana.
Lagi, lagi akupun lupa bahwasanya kamu layaknya aku
yang butuh perhatian. Mencari tempat bernaung atas segala urusan hati yang
mengsungkurkan diri kita, hingga tak mampu lagi kita menopang perasaan ini. Dan
diri kita pun butuh nasihat dari saudari kita. Iya aku lupa, engkau adalah
seorang yang butuh pada yang lain, hingga beban di pundakmu sedikit terangkat.
Meski akupun hanya bisa menjadi telinga ketigamu. Menjadi tempat pendengaranmu
yang tidak akan tuli sampai kapanpun. Hinggapun kau mau teriak di telingaku,
maka kan kubiarkan telinga ini hingga tak dapat lagi membedakan mana kondisimu
yang bahagia dan mana kondisimu yang sedih. Semua tersentuh oleh biasnya kasih sayangku padamu.
Satu lagi kawan menutupi tulisan ku ini di sela-sela
penghujung dzhuhur,,,
Aku manusia sama sepertimu yang memiliki perasaan. Dan
aku mencukupi diriku pada Rabb yang tak pernah mendustaiku di sepanjang waktu
hingga kaki ini melangkah di Jannah-Nya bersama nabi ku tersayang salallahu
‘alayhi wassalam. Aamin.
-
- Jakarta, Senin 8
syawal 1435-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar