Senin, 04 Agustus 2014

ada saatnya kita berjalan sendiri



Ada saatnya kita berjalan sendiri-sendiri menghadapi kesibukkan masing-masing. Di siang senin ini, matahari terus mengeluarkan terik panasnya hingga antara aku dan bayanganku berhimpitan satu sama lain. Kami berjalan mengikuti arah kesibukkan masing-masing. Oh tidak, kamu tidak melakukan aktivitas apapun. Aku disini sendiri melakukan aktivitasku tanpa siapapun. Oh tidak juga, aku melakukan ini bersama Allah di ‘arsy sana. Dia selalu ada untukku kapanpun dan dalam kondisi apapun. Oh iya satu lagi, Allah tidak akan pernah mendustaiku. Dia selalu menjagaku, meskipun oranglain peduli tapi Dia lebih peduli melebihi kepedulian keluarga kita, begitu kata nabi salallahu ‘alayhi wassalam.

Ada saatnya pembicaraanmu mulai berubah arah layarnya. Dulu, iya dulu sekali ketika kita masih memakai jilbab peniti warna putih. Kemeja warna putih yang diselingi dengan rok abu-abu dan rok putih seringkali pembicaraan ngalor ngidul kita adalah tentang PR, guru pelajaran, peralatan seni rupa, peralatan praktikum biologi, lari-lari ketika olahraga, pidato kepsek, do’a si petugas upacara, pelantikan, kakak kelas, adik kelas, dll. Iya kita dulu asik membicarakan itu semua. Asik makan di masjid, asik ngobrolin acara sekolah serta asik pula membicarakan si dia. Iya si dia, si dia yang kita taksir di dalam diam.

Bukan, tulisan ini bukan untuk membicarakan si dia yang sudah tertinggal bertahun-tahun ke belakang dan saat ini mungkin sudah digantikan posisinya oleh seseorang kunci syurgamu. Yang kemarin kakak kelas bercerita bahkan posisinya melebihi bakti kita pada orang tua kita. Dan aku telisik lagi pada sabdanya salallahu ‘alayhi wassalam ternyata sampai-sampai wanita harus mencium kakinya saking besarnya bakti kita pada dia. Iya dia yang akan menjadi tumpuan layar perahumu.

Pembicaraan kamu akan berbelok layarnya pada kesibukkan mu saat ini, yang mungkin buatku terlalu risih untuk saat ini. Tidak, bukan risih tapi mungkin aku pandang ini terlalu belum bisa kupraktikan secara langsung dalam kehidupanku.  Tidak ada lagi mungkin nanti pembicaraan tentang nasihat menasihati kebaikan lagi. Karena kupukir engkau sudah mencukupi diri terhadap nasihat si pemegang kunci syurgamu. Bahkan kini akulah yang harus terus memahami keadaanmu. Dimana dirimu kini harus membagi waktu untuk mendapatkan syurga-Nya. Iya, kini aku harus membangun benteng pemahaman yang tangguh, hingga ada udzur bagiku memaafkanmu karena kesibukkanmu dalam meraih syurga-Nya.

Pembicaraanmu kini mulai membuka wawasan untuk diriku, bahwasanya hidup dalam bahtera seperti itu tidak sepenuhnya menjanjikan kebahagiaan. Kadang tetes demi tetes air mata menghampiri pipimu yang teduh. Bahkan lebih banyak dari itu. Karena kita dituntut untuk bisa memendam ke-egoan diri sendri, pun kebahagaian untuk hati sendiri. Karena menurutmu, dunia ini sementara. Lagi, lagi kubuka sabda nabi, ternyata dunia ini hanya selebar sayap nyaamuk dan lebih hina dari bangkai kambing yang hitam. Atas dasar hal inipula aku belajar kembali bahwasanya kita harus terus memahami dan memberi udzur pada mereka sahabat tercinta kita yang sudah berbeda setiap kondisi dan keadaannya.

Jangan takut, iya jangan takut kita sendiri. Karena pada asalnya kitapun terlahir di dunia ini sendiri dn nanti beakhir dengan kesendirian. Kita takkan sendiri, karena Dia yang di ‘arsy sana berfirman dalam kitab sucinya yang teramat mulia : “innallaha ma’ashobirin…”. Allah bersama orang-orang yang sabar, maka jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai penolongmu.

Suara alunan ayatNya mulai terdengar sayup dari speaker masjid. Terik matahari mulai berjuntai di setiap sudut bumi ini. Memanaskan aspal yang berdebu dan memberikan peluh bagi orang-orang yang mencari penghidupan di muka bumi ini. Aku mengetik satu per satu huruf ini, seperti menjalani kehidupan ini. Berjalan hari demi hari, hingga menemukan bahwasanya kehidupan ini layaknya menanam sebuah pohon, kelak dengan sabar kita kan meraih buahnya.

Aku belajar darimu betapa rasanya memahami itu indah. Terus menerus memahami keadaanmu hingga tak ada lagi kabar darimu, meski menanyakan sebuah kabar. Tapi tahukah kamu, menunjukkan wajah ceria dihadapan saudaramu adalah shadaqoh. Apalagi sampai berempati pada keadaan saudaramu. Ah, sudahlah. Aku masih punya banyak cadangan rasa memahami.iya memahami keadaanmu saat ini. Hingga mungkin nanti ketika engkau butuh padaku, aku akan tetap menjulurkan tanganku dengan lebar, menyambut dirimu yang ringkih menghadapi persoalan hidupmu disana. Tapi, iya tapi jangan kau berharap pertolonganku. Mintalah pada Dia di arsy sana. Dia sungguh baik, selalu baik bahkan setiap detik pada diriku. Dan aku yakin Dia pun baik padamu yang telah memberikan kunci syurgaNya duluan padamu. Aku iri itu. Sungguh iri padamu yang telah Allah berikan suatu kenikmatan karena memberikan lebih banyak kesempatan lebih dulu menyempurnakan agama padamu hingga lebih banyak kesempatan memberikan pahala dalam berbakti pada kunci syurgamu. Iya, inilah pula suatu alasanku rasa memahamimu hingga kapanpun.

Ah iya, aku lupa. Ada sesorang selain dirimu yang mengatakan padaku. Bahwasanya tak perlu kita memaksakan bisa berada pada tahap dirimu saat ini. Karena untuk mencapai pada fase dirimu, seorang waanita perlu mental yang kuat. Perlu kesabaran yang luas. Seseorang itupun membagikan sedikit ilmunya.ah tidak sedikit, malah sungguh banyak. Bahwasanya kita harus bisa menahan ke-egoan kita ketika kita ditinggaal oleh aktivitas si kunci syurga kita. Kita harus bersabar ketika episode hati kita terluka karena ada seseorang yang Allah ciptakan untuk menguji kesetiaan kita. Ah iya, aku lupa bahwasanya si kunci syurga itu pun rupanya manusia yang memiliki segudang harga diri. Memiliki perasaan pula seperti kita. Maka hendaknya kita menjunjung tinggi perasaannya. Jika tidak suka atas perlakuannya terhadap kita maka hendaknya kita diam. Menyimpan itu semua di dalam hati kita sendiri. Atau bisa berbagi pada-Nya di ‘Arsy sana.

Lagi, lagi akupun lupa bahwasanya kamu layaknya aku yang butuh perhatian. Mencari tempat bernaung atas segala urusan hati yang mengsungkurkan diri kita, hingga tak mampu lagi kita menopang perasaan ini. Dan diri kita pun butuh nasihat dari saudari kita. Iya aku lupa, engkau adalah seorang yang butuh pada yang lain, hingga beban di pundakmu sedikit terangkat. Meski akupun hanya bisa menjadi telinga ketigamu. Menjadi tempat pendengaranmu yang tidak akan tuli sampai kapanpun. Hinggapun kau mau teriak di telingaku, maka kan kubiarkan telinga ini hingga tak dapat lagi membedakan mana kondisimu yang bahagia dan mana kondisimu yang sedih. Semua  tersentuh oleh biasnya kasih sayangku padamu.

Satu lagi kawan menutupi tulisan ku ini di sela-sela penghujung dzhuhur,,,

Aku manusia sama sepertimu yang memiliki perasaan. Dan aku mencukupi diriku pada Rabb yang tak pernah mendustaiku di sepanjang waktu hingga kaki ini melangkah di Jannah-Nya bersama nabi ku tersayang salallahu ‘alayhi wassalam. Aamin.
-         
- Jakarta, Senin 8 syawal 1435-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar