Selasa, 05 Agustus 2014

siluet senja lautan


 Angin berhembus kencang. Ku biarkan kain ini berhembus seiring tiupan sang angin. Ketika perasaan tak mampu lagi menopang beban hati. Mungkin hanya satu yang ku kerjakan, aku berdiam diri menatap kejauhan langit biru. Menatap sendunya awan bergerak dihembus sang udara pagi ini. Melihat fenomena ini, aku semakin yakin bahwasanya manusia mampu menopang perasaan sakit ketika yang didamba mengkhianatinya. Tak ada yang salah dengannya, mungkin perasaannya saja yang sedang sendu didera nestapa takdir langit. Setiap hari, semakin jauh ku berjalan di muka bumi ini, aku semakin memahami perasaan sakit akan terbias oleh seribu macam aktivitas. Pun termasuk aktivitas yang tak ada manfaat sama sekali. Seperti menguliti kuku yang panjang, mencoret-coret buku bahkan cerita pada si bisu buku tulis yang bertelekkan diatas sudut kamar.
Beban hidup yang semakin tinggi mungkin pula sebagai obat kesibukan yang ampuh bagi perasaan yng sakit. Ketika ucapan-ucapan sabar dari sekeliling kita tak lagi mampu menembus rasa sakit ini, mungkin ada kala nya ucapan si pemalas benar. Duduk diam dan tataplah langit hari ini. Mungkin si yang Empunya langit daan bumi ini sedang menatapmu dari kejauhan di ‘arsy sana. Bicarakan saja dengan tatapan nanar mu pada-Nya. Sambil duduk malas mungkin kau bisa membiaskan perasaanmu. Atau mungkin kau perlu sekali-kali berlari-lari kecil di bawah rinaian hujan. Atau bahkan berkali-kali. Mungkin.
Laju kereta terus berlari hingga menimbulkan getaran jendela. Padahal rel kereta cukup jauh dari kayu lapuk rumah ini. Tapi aku masih bisa merasakannya. Bisa merasakan getaran lari kencangnya menembus rel demi rel hingga stasiun terakhir tiba. Di jejeran rel ini, berdiri banyak sekali gubuk-gubuk mungil yang penghuninya mungkin sudah kebas oleh getaran si kereta yang tiap detik berlalu lalang. Ku perhatikn kembali sambil duduk diatas jok motor, mereka bahagia. Iya mereka bahagia dengan keadaan mereka saat ini. Satu dua anak kecil duduk di seberang rel. bermain dengan riangnya. Melewati hidup ini tanpa beban. Berteriak sebebas mungkin, sesuka mungkin dan sekencang mungkin. Tapi suara mereka kalah oleh getaran dan terompet bel kereta tanda akan melewati palang rel.
Kebahagiaan itu bukan lagi milik seseorang yang digariskan oleh takdir menjadi permaisuri setiap hari. Bukan lagi milik sang raja negara setiap hari. Kebahagiaan ada pada masing-masing lubuk hati seseoranag yang memahami hakekat hidup ini. Pandanganku tertuju pada seorang wanita muda yang sedang menggendong permata hatinya. Dengan kain lusuh dan wajah cokelat karena seringnya terkena debu jalan. Mata itu beribacara, hidup itu bukan lagi mencari kebahagiaan tetapi hidup itu mempertahankan kebahagiaan dari dalam hati. Mensyukuri apa yang diberikan dan mengikhlaskan yang telah ditakdirkan.
Mengikhlaskan apa yang telah ditakdirkan itu bukan sebuah kata yang mudah diaplikasikan, begitu tulisan update seorang teman. Mengikhlaskan seseorang yang telah mengkhianati kita itu sungguh berat. Melihatnya bermain riang dengan kebahagiaan barunya sungguh membuat hati luka. Terkadang hati memang berontak atas apa yang telah digoreskan tapi untuk menyembuhkannya hanya butuh ilmu syukur dan sabar. Ah itu mungkin tidak cukup bagiku. Betapapun besarnya cadangan sebuah rasa syukur dan sabar, mungkin belum bisa instan mengikhlaskan yang telah terjadi.
Kereta sudah melintasi pintu, kini saatnya aku berlalu dari lokasi ini. Lokasi yang cukup membuat teduh bagi mereka yang tak tahu harus mencari penghidupan yang layak di kota besar ini. Kota besar di negara berkembang. Negara dengan devisa terbesar dari para saudariku yang rela memutuskan pendidikannya demi sesuap nasi di negeri seberang. Negara yang akan terus dicap berkembang oleh negara maju di seberang benua sana. Negara yang mayoritas muslim tapi tak menampakkan kemuslimannya. Mungkin karena nenek moyang kami yang diasuh oleh nona belanda. Jadi sedikit kami meniru dengan banyak peraturan dan kebiasaan dari sana.
Malam dihiasi bintang gemintang, aku tak tahu disana juga dihiasi bintang seperti disini kah?. Akupun tak tahu disana merindukan kebahagiaan yang sama kah seperti disini? Akupun tak tahu. Besok waktunya bergegas melintasi garis pantai pulau jawa paling utara. Iya paling utara, dimana pulau sumatera terlihat begitu megah dari sini. Dari garis pantai ini. Garis pantai yang sungguh teduh permukaannya. Mempersiapkaan diri untuk berperang dengan medan area yang kata orang seperti desa tak terurus. Berantakan dari segi akses dan kesulitan dari segi irigasi persawahan. Dan katanya lagi desa tertinggal ini desa yang tak pernah terkunjungi sehingga masih asri.
Udara subuh mulai menyerebak, lantunan suara di masjid sudah mulai terdengar. Subuh itu waktu yang masih asri karena orang-orang munafik masih tertidur pulas. Subuh dan isya itu waktu berat bagi orang-orang munafik. Semoga kita tidak termasuk dalam bagian mereka. Subuh pagi hari waktu dimana kesunyian masih menyeruak. Hati masih teduh dari kehidupaan hiruk pikuk dunia. Kebahagiaan terus memilin dari langit menuju bumi, memilih orang-orang yang sudah mulai sibuk beribadah daan membuka harinya dengan lantunan ucapan-ucapan kebaikan. Subuh ini aku mulai sibuk dengan segala perlengkapan menuju lapangan. Membuka cakrawala wawasan di desa nun jauh disana. Membuka mata hati untuk melihat kebahagiaan saudara-saudaraku disana. Dan mengambil sedikit kebahagiaan yang ada di benak mereka.
Setelah pengarahan dari ibu Kajur, kami lantas berangkat menuju desa menggunakan bus tiga per empat. Bus yang digunakan kedinasan tentara. Memasuki area tol, area bebas hambatan. Yang pada kenyataan sedikit banyak hambatan disini karena jalanan over kuota terhadap penggunaan jalan ini. Sperti yang kujelaskan tadi, negeri ku ini negara dengan label berkembang. Pasokan barang-barang mewah masuk dari mana-mana. Dan negeri tujuan ekspor bagi negara maju seperti jepang, USA, Kanada, Jerman dan negara eropa lainnya. Banyak sekali mobil baru yang masuk kesini. Tidak ada peraturan yang signifikan dijalankan oleh negara ini. Semua berhak membeli mobil, berapapun jumlahnya. Sehingga di ibu kota ini terjadi overlap kendaraan, mulai dari kendaraan muda sampai kendaraan yang barang bakunya tidak lagi diproduksi karena terlalu lampau dalam pembuatannya.
Bus sedikit berhenti ditanjakan bukit pandeglang. Jalannya berliku-liku, naik turun hinggaa bus tua ini harus kehabisan bahan bakar. Dan kami pun turut beristirahat dengan duduk di pinggir jalan menatap sendunya desa ini. Pepohonan berdiri tegak, dedaunan menari lepas, angin lembah meniup baju kami. Sungguh wilayah yang jauh dari kebisingan. Sejuk tak terkira. Bus kembali berjalan hingga kami menemukan titik garis pantai dimana tak ada lagi penghalang antara mata kami dengan lautan luas. Tak ada lagi pengahalang antara wajah kami dengan sunset matahari senja.
Kami tiba sore hari menjelang maghrib dengan sambutan hangat ibu pemilik cottage. Keramahan yang berkesan dan sambutan air kelapa muda sungguh kisah yang takkan aku lupakan sampai saat ini. Duduk di pinggir teras dengan wajah lelah kami menatap sunset senja. Menatap iri pada senja yang selalu berbahagia ketika hendak pulang ke peraduaannya. Tahukah kamu mengapa aku senang dengan sunset senja?. Iya aku senang dengan sunset senja karena selalu menimbulkan siluetnya yang anggun. Menyibak kilau lautan luas hingga diri ini terbawa oleh sendunya senja sore itu. Menatapnya akan berlari ke bagian lain, aku sungguh takjub. Melepaskan kepenatan dalam hati dan meninggalkan seluruh aktivitas dirumah. Aku akan selalu menunggumu. Menunggumu dengan berdiri bersama siluetku ketika menatapmu. Menunggumu mengakhiri ini semua. Menunggumu untuk menceritakan kelak nanti aku akan melihatmu dengan dua bayangan…
-bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar