Kamis, 30 September 2010

Tabi’in Terbaik “Uwais Al-Qoroni”

Uwais bin ‘Amir Al-Qoroni adalah tabiin terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1] dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ ((Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu… )). Berkata An-Nawawi, “Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdlolan di sisi Allah”[2]

Berikut ini kami menyampaikan sebuah hadits yang berkaitan dengan kisah Uwais Al-Qoroni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalah shahihnya[3]. Namun agar kisahnya lebih jelas dan gamblang maka dalam riwayat Imam Muslim ini kami menyelipkan riwayat-riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadroknya, Abu Ya’la dan Ibnul Mubarok dalam kedua musnad mereka.

Dari Usair bin Jabir berkata, “Umar bin Al-Khotthob, jika datang kepadanya amdad dari negeri Yaman maka Umar bertanya mereka, “Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir ?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”. Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod[4], kemudian dari Qoron?”, ia berkata, “Benar”. Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit baros (albino) kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?” ia berkata, “Benar”. ((Pada riwayat Abu Ya’la[5]: Uwais berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.” Umar berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwasanya aka ada diantara tabi’in seorang pria yang disebut Uwais bin ‘Amir yang terkena penyakit putih (albino) lalu ia berdoa kepada Allah agar menghilangkan penyakit putih tersebut darinya, ia berkata (dalam doanya), “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”…”)) Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku!” ((Dalam suatu riwayat Al-Hakim[6] : “Engkau yang lebih berhak untuk memohon ampunan kepada Allah untukku karena engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”)), lalu Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”, Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

((Dalam riwayat Al-Hakim[7] : Kemudian Uwaispun mendatangi Kufah, kami berkumpul dalam halaqoh lalu kami mengingat Allah, dan Uwais ikut duduk bersama kami, jika ia mengingatkan para hadirin (yang duduk dalam halaqoh tentang akhirat) maka nasehatnya sangat mengena hati kami tidak sebagaimana nasehat orang lain. Suatu hari aku (yaitu Usair bin Jabir) tidak melihatnya maka aku bertanya kepada teman-teman duduk (halaqoh) kami, “Apakah yang sedang dikerjakan oleh orang yang (biasa) duduk dengan kita, mungkin saja ia sakit?”, salah seorang berkata, “Orang yang mana?”, aku berkata, “Orang itu adalah Uwais Al-Qoroni”, lalu aku ditunjukan dimana tepat tinggalnya, maka akupun mendatanginya dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, dimanakah engkau?, kenapa engkau meninggalkan kami?”, ia berkata, “Aku tidak memiliki rida’ (selendang untuk menutup tubuh bagian atas), itulah yang menyebabkan aku tidak menemui kalian.”, maka akupun melemparkan rida’ku kepadanya (untuk kuberikan kepadanya), namun ia melemparkan kembali rida’ tersebut kepadaku, lalu akupun mendiamkannya beberapa saat lalu ia berkata, “Jika aku mengambil rida’mu ini kemudian aku memakainya dan kaumku melihatku maka mereka akan berkata, “Lihatlah orang yang cari muka ini (riya’) tidaklah ia bersama orang ini hingga ia menipu orang tersebut atau ia mengambil rida’ orang itu”. Aku terus bersamanya hingga iapun mengambil rida’ku, lalu aku berkata kepadanya, “Keluarlah hingga aku mendengar apa yang akan mereka katakan!”. Maka iapun memakai rida’ pemberianku lalu kami keluar bersama. Lalu kami melewati kaumnya yang sedang bermasjlis (sedang berkumpul dan duduk-duduk) maka merekapun berkata, “Lihatlah kepada orang yang tukang cari muka ini, tidaklah ia bersama orang itu hingga ia menipu orang itu atau mengambil rida’ orang itu”. Akupun menemui mereka dan aku berkata, “Tidak malukah kalian, kenapa kalian menggangunya (menyakitinya)?, demi Allah aku telah menawarkannya untuk mengambil rida’ku namun ia menolaknya!”))

Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka[8] dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais, orang itu berkata, “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta” ((Dalam riwayat Ibnul Mubarok[9] : orang itu berkata “Ia adalah orang yang jadi bahan ejekan di kalangan kami, ia dipanggil Uwais”)). Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, orang itu berkata, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau bertemu dengan Umar?”, Orang itu menjawab, “Iya”. ((Dalam riwayat Al-Hakim[10] : Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara”, ia berkata, “Apa itu?”, Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini, janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga)) Maka Uwaispun memohon ampunan bagi orang itu. Lalu orang-orangpun mengerti apa yang terjadi lalu iapun pergi[11]. Usair berkata, “Dan baju Uwais adalah burdah (kain yang bagus yang merupakan pemberian si Usair) setiap ada orang yang melihatnya ia berkata, “Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?”[12]
Faedah-faedah dari hadits ini:

1. Tidak berarti orang yang kedudukannya di sisi Allah mulia harus merupakan orang yang terhormat, dihargai manusia, perkataannya di dengar, ilmunya banyak, dan bebas dari tuduhan-tuduhan. Lihatlah Uwais Al-Qoroni…???

Beliau adalah seorang penduduk negeri Yaman yang hampir tidak ada yang mengenalnya. Beliau adalah orang yang miskin, bahkan saking miskinnya beliau tidak bisa menemui para sahabatnya karena tidak memiliki kain untuk menutupi jasadnya bagian atas, bahkan merupakan bahan ejekan di kaumnya, bahkan ada yang menuduhnya tukang menipu untuk mengambil milik orang lain, kaumnya mengingkarinya jika ia memakai burdah (kain yang bagus) dan menuduhnya mendapatkannya dari jalan yang tidak benar karena saking terlalu miskinnya beliau, dan inilah penilaian manusia yang mengukur dengan penilaian materi.

Renungkanlah perkataan Ibnul Qoyyim berikut ini:

“...Betapa banyak orang yang teristidroj dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah-pen) padahal dia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan keadaannya dimana kebutuhannya selalu terpenuhi, dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini merupakan tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka....”

Beliau melanjutkan,”.... semua kekuatan baik yang nampak maupun yang batin jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhoi Allah maka hal itu adalah karunia Allah, jika tidak demikian maka kekuatan tersebut adalah bencana. Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalan-Nya maka hal itu merupakan karunia Allah, jika tidak , maka hanyalah merupakan bencana. Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah bukan untuk mengharapkan ganjaran manusia dan terima kasih mereka maka dia adalah karunia Allah. Jika tidak demikian maka dia hanyalah bumerang baginya....dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya jika disertai dengan rasa tunduk, rendah, dan hina dihadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya dan usahanya menasehati manusia maka hal ini adalah karunia Allah, jika tidak demikian maka hanyalah bencana.....oleh karena itu hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugrah dan bumerang baginya karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.”[13]

2. Keutamaan Ikhlas dan menyembunyikan amalan-amalan sholeh.

Perkara-perkara yang menunjukan keikhlasan Uwais dan jauhnya beliau dari cinta kepada ketenaran.

1. Tatkala Umar berkata kepadanya, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, makapun ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

2. Perkataan Uwais kepada Umar, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.”. Hal ini menunjukan bahwa beliau meskipun terkabulkan do’anya oleh Allah namun beliau tidak pernah menceritakan hal ini kepada orang lain, karena hal ini bisa menimbulkan kesan kepada orang yang mendengar bahwa beliau adalah orang yang mulia yang doanya didengar oleh Allah. Meskipun menceritakan kenikmatan yang Allah berikan kepada seseorang disyari’atkan akan tetapi sebagian orang tidak ikhlas tatkala menceritakan kenikmatan-kenikmatan yang Allah karuniakan kepadanya yaitu niatnya dalam rangka agar para pendengar menganggapnya adalah orang yang hebat, yang spesial sehingga diberi kenikmatan oleh Allah.

3. Perkataan beliau kepada orang yang memintanya untuk berdoa baginya, “Janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu”

4. Sikap beliau yang mengasingkan diri tatkala orang-orang mengetahuinya merupakan orang yang terkabulkan do’anya.

5. Keadaan beliau yang menjadi bahan olok-olokan oleh kaumnya. An-Nawawi berkata, “Hal ini (yaitu keadaan Uwais yang menjadi bahan olokan kaumnya) menunjukan bahwasanya beliau menyembunyikan ibadahnya (hubungan antara ia dan Robnya), dan ia sama sekali tidak menampakkannya walau sedikitpun. Ini merupakan jalan orang-orang yang mengenal Robb mereka dan para wali Allah[14]


Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah.

Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar :

اُكْتُمْ مِنْ حَسَنَاتِكَ, كَمَا تَكْتُمُ مِنْ سَيِّئَاتِكَ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.”[15]

Dalam riwayat yang lain[16] beliau berkata:

أَخْفِ حَسَنَتَكَ كَمَا تُخْفِي سَيِّئَتَكَ, وَلاَ تَكُنَنَّ مُعْجَبًا بِعَمَلِكَ, فَلاَ تَدْرِي أَشَقِيٌّ أَنْتَ أَمْ سَعِيْدٌ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).”
Berkata Syaikh Abdulmalik, "Namun mengapa kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??, hal ini menunjukan bahwa keikhlasan belum sampai ke dalam hati kita sebagaimana yang dikehendaki Allah"[17]

Oleh karena itu banyak para imam salaf yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.

Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang (selain jalan umum yang sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil yang tidak dilewati orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan) mengatakan : “Ini Ayyub”[18]

Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”[19]

Tatkala sampai berita kepada Imam Ahmad bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata: “Aku berharap semoga hal ini bukanlah istidroj”[20]

Imam Ahmad juga pernah berkata tatkala tahu bahwa manusia mendoakan beliau: “Aku mohon kepada Allah agar tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang riya’”[21]

Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”[22]

Berkata Hammad: “Pernah Ayyub membawaku ke jalan yang lebih jauh, maka akupun perkata padanya: “Jalan yang ini yang lebih dekat”, maka Ayyub menjawab:”Saya menghindari majelis-majelis manusia (menghindari keramaian manusia-pen)”. Dan Ayyub jika memberi salam kepada manusia, mereka menjawab salamnya lebih dari kalau mereka menjawab salam selain Ayyub. Maka Ayyub berkata :”Ya Allah sesungguhnnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini !, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini!.”[23]

Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr: “Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya awan. Maka beliau berkata :”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata :”Dimana Yazid bin Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata Ad-Dlohhak :”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi kami!”. Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa :” Ya Allah, sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata :”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”, dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.”[24]

Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana Yazid Al-Aswad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia meminta kepada Allah agar mencabut nyawanya agar terhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata Yazid adalah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghindarinya walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar..inilah akhlak salaf[25]. Namun banyak orang yang terbalik…mereka malah menjadikan ketenaran merupakan kenikmatan yang sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya dengan berbagai macam cara.

Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali, beliau berkata :”Ali bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada malam hari untuk dia sedekahkan, dan dia berkata :

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ

”Sesungguhnya sedekah dengan tersembunyi memadamkan kemarahan Allah”[26]

Dan dari ‘Amr bin Tsabit berkata :”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka bertanya :”Apa ini”, lalu dijawab :”Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah”

Berkata Ibnu ‘Aisyah :”Ayahku berkata kepadaku :”Saya mendengar penduduk Madinah berkata :”Kami tidak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain””[27]

Lihatlah bagaimana Ali bin Husain menyembunyikan amalannya hingga penduduk madinah tidak ada yang tahu, mereka baru tahu tatkala beliau meninggal karena sedekah yang biasanya mereka terima di malam hari berhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak beliau.

Seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari :”Bagaimana sholat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata :

وَاللهِ لَرَكْعَةٌ أُصَلِّيهَا فِي جَوْفِ اللَّيْلِ فِي السِّرِّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصَلِّي اللَّيْلَ كُلَّهَا ثُمَّ أَقُصُّهُ عَلَى النَّاسِ

“Demi Allah, satu rakaat saja sholatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku solat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia”[28]

Tidak seorangpun diantara kita yang meragukan akan kesungguhan para sahabat dalam beribadah. Namun walaupun demikian, mereka tidaklah ujub, atau memamerkan amalan mereka kapada manusia, jauh sekali dengan kita. Adapun sebagian kita (atau sebagian besar, atau seluruhhnya (kecuali yang dirahmati oleh Allah)?? …., Allahu Al-Musta’an, sudah amalannya sedikit, namun diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang sedunia mengetahuinya). Ada yang berkata :”Dakwah saya disana…, disini…”, ada juga yang berkata:”Yang menghadiri majelis saya jumlahnya sekian dan sekian..” (padahal kalau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan, atau memang benar yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu. Terkadang yang hadir dalam sebagian majelisnya cuma sedikit, namun tidak dia ceritakan. Atau yang hadir banyak tapi pada ngantuk semua, juga tidak dia ceritakan. Pokoknya dia ingin gambarkan pada manusia bahwa dia adalah da’i favorit), ada yang berkata: “Saya sudah baca kitab ini, kitab itu.. hal ini sebagaimana termuat dalam kitab ini atau kitab itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia baca dari awal hingga akhir, atau bahkan belum tentu dia baca sama sekali secara langsung kitab itu. Namun dia ingin gambarkan pada manusia bahwa mutola’ahnya banyak, agar mereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan gemar membaca). Yang mendorong ini semua adalah karena keinginan mendapat penghargaan dan penghormatan dari manusia. Lihatlah….Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau menjawab orang yang bertanya tentang ibadahnya. Namun sebaliknya, sebagian kaum muslimin sekarang justru menjadikan kesempatan pertanyaan seperti itu untuk bisa menceritakan seluruh ibadahnya, bahkan menanti-nanti untuk ditanya tentang ibadahnya, atau dakwahnya, atau….

6. Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan akan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua”[29]

Uwais di sisi Allah memiliki kedudukan yang tinggi dan hal yang menyebabkan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya tersebut. Sikapnya yang berbakti kepada ibunya menjadikannya seorang yang dikabulkan doanya. Nabi tidak menyebutkan amalan lain yang dilakukan oleh Uwais kecuali bahwasanya ia berbakti kepada ibunya. Hal ini menunjukan sikapnya yang berbakti kepada ibunya merupakan salah satu sebab utama yang menjadikannya menjadi tabi’in yang terbaik. Wallahu A’lam.

7. Tidak berarti seorang yang berilmu pasti lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang kurang berilmu. Terkadang manusia tertipu, tatkala ia telah memiliki ilmu syar’i maka dia memandang bahwa dirinya lebih mulia di sisi Allah daripada orang lain yang tidak memiliki ilmu setinggi ilmunya. Dia lupa bahwasanya jalan-jalan untuk memperoleh kedudukan mulia di sisi Allah bukan hanya ilmu. Bisa jadi seseorang memang kurang memiliki ilmu akan tetapi ia meraih kedudukan yang tinggi di sisi Allah dengan amalan-amalan ibadah yang lain. Bisa jadi orang tersebut lebih baik daripada dia dalam ibadah-ibadah hati. Sebagaimana Uwais Al-Qoroni beliau bukanlah seorang tabi’in yang masyhur dengan ilmu sebagaimana Ibnul Musayyib, akan tetapi lihatlah… baktinya kepada ibunya serta keikhlasannya yang luar biasa dengan menyembunyikan amalan-amalan shalehnya serta benci akan popularitas menjadikan beliau adalah tabi’in yang paling afdhol di sisi Allah. Wallahu A’lam.

Oleh karena itu seseorang yang telah berilmu atau bisa beribadah dengan baik janganlah sampai tertipu dan kagum terhadap dirinya lalu memandang bahwa dirinya lebih afdol dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dari pada orang lain yang kurang berilmu. Ini merupakan salah satu bentuk zuhud yang diperintahkan oleh Nabi untuk diamalkan.

Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata, “Dikatakan kepada Al-Hasan (Al-Bashri) atau yang lainnya, “Siapakah orang yang zuhud?”. Maka beliau berkata, هُوَ الَّذِي إِذَا رَأَى غَيْرَهُ ظَنَّ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْهُ “Dia adalah orang yang melihat orang lain dan menyangka orang tersebut lebih baik daripada dirinya”. Ini merupakan makna yang agung yang dikembangkan oleh Al-Hasan dimana dia berkata, “Orang yang zuhud adalah yang menyatakan orang lain lebih mulia daripada dirinya”. Yaitu jika ia melihat seseorang dari kaum muslimin maka ia memandang orang tersebut lebih mulia daripada dirinya –yaitu di sisi Allah-. Dan hal ini berarti (hatinya) tidak terikat dengan dunia, ia memandang rendah dirinya di sisi Allah, ia tidak merasa tinggi dihadapan orang-orang. Hal ini hanya bisa timbul pada orang yang diberikan karunia oleh Allah lalu memenuhi hatinya dengan harapan terhadap akhirat serta jauh dari keterikatan dengan dunia…”[30]
8. Hendaknya seseorang selalu berusaha mengingat-ngingat nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Lihatlah Uwais tatkala berdoa kepada Allah untuk menyembuhkan penyakitnya ia berkata, “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”. Betapa banyak orang yang hanya bisa merasakan kenikmatan yang Allah berikan kepadanya tatkala ia kehilangan kenikmatan tersebut. Terkadang kita lupa akan kenikmatan kesehatan yang Allah berikan kepada kita dan kita hanya bisa benar-benar merasakannya tatkala kita sakit. Tidaklah benar-benar merasakan besar nikmat mata dan telinga kecuali orang yang tadinya melihat dan mendengar kemudian menjadi buta dan tuli.

Sebagian orang tatkala dalam keadaan miskin berdoa kepada Allah agar diberi rizqi dengan berjanji seandainya Allah melapangkan rizkinya maka ia akan banyak bersedekah. Namun tatkala Allah melampangkan rizkinya maka iapun lupa dengan nikmat Allah. Allah berfirman:

(وَمِنْهُم مَّنْ عَاهَدَ اللّهَ لَئِنْ آتَانَا مِن فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ) (التوبة : 75 )

Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah:"Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh". (QS. 9:75)

(فَلَمَّا آتَاهُم مِّن فَضْلِهِ بَخِلُواْ بِهِ وَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعْرِضُونَ) (التوبة : 76 )

Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS. 9:76)

Sebagian orang berkata, “Saya ingin sibuk mengumpulkan uang dahulu, jika uang saya telah banyak maka saya akan tinggal dekat pondok pesantren atau akan rajin ikut pengajian”. Namun tatkala ia telah mengumpulkan banyak uang maka iapun tenggelam dengan dunia. Wallahul Must’aan.

9. Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan mustahabnya meminta doa dan istigfar kepada orang yang sholeh meskipun yang meminta lebih tinggi kedudukannya disbanding dengan yang dimintai doanya”[31], karena Umar yang jelas lebih mulia kedudukannya di sisi Allah meminta doa kepada Uwais Al-Qoroni.

Akan tetapi perkataan Imam An-Nawawi bahwa “disunnahkannya meminta do’a dan istighfar kepada orang yang sholeh” secara mutlak perlu diteliti kembali sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berikut ini.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Meminta doa kepada orang yang diharapkan doanya dikabulkan karena kesholehannya, atau karena ia akan pergi ke tempat-tempat yang berdoa di tempat-tempat tersebut mustajab seterti tatkala pergi bersafar atau pergi haji, umroh dan yang semisalnya, maka hukum asalnya adalah tidak mengapa. Akan tetapi jika dikhawatirkan akan timbul perkara-perkara yang dilarang seperti dikawatirkan orang yang meminta akan bersandar kepada do’a orang yang dimintanya, dan dia selalu bersandar kepada orang lain tatkala hendak meminta kepada Robnya, atau dikhawatirkan orang yang dimintai do’a akan terkena penyakit ujub (kagum) terhadap dirinya sehingga ia menyangka bahwa ia telah sampai pada derajat untuk dimintai do’a kemudian iapun tertimpa penyakit ghurur (tertipu/ujub dengan dirinya), maka yang seperti ini meminta do’a itu dilarang karena mencakup perkara-perkara yang dilarang.

Adapun jika tidak mengandung perkara-perkara yang dilarang maka hukum asalnya adalah boleh. Namun meskipun demikian kita katakan bahwasanya tidaklah semestinya meminta do’a, karena hal ini bukanlah kebiasaan para sahabat yaitu saling meminta do’a diantara mereka. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau berkata kepada Umar, “Janganlah lupa wahai saudaraku untuk mendoakan kami dengan do’a yang sholeh”, maka hadits ini adalah hadits yang lemah dan tidak sah dari Nabi. Adapun permintaan sebagian sahabat kepada Nabi (untuk mendoakan mereka) maka telah diketahui bersama bahwasanya tidak seorangpun yang mencapai derajat Nabi, yaitu Tsabit bin Qois bin Asy-Syammasy telah meminta kepada Nabi, demikian juga Ukkasyah bin Mihshon telah meminta kepada Nabi agar berdoa kepada Allah agar Allah menjadikannya termasuk dari orang-orang yang masuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Engkau termasuk mereka”. Demikian juga datang seseorang menemui Nabi untuk meminta Nabi berdoa kepada Allah untuk menurunkan hujan. Adapun wasiat Nabi kepada para sahabat untuk meminta kepada Uwais Al-Qoroni untuk berdoa bagi mereka maka hal ini jelas hanyalah khusus bagi Uwais Al-Qoroni, karena telah diketahui bersama bahwasanya Uwais tidak sama derajatnya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan tidak juga sahabat-sahabat yang lain, namun meskipun demikian Nabi sama sekali tidak mewasiatkan para sahabat untuk meminta do’a kepada salah seorangpun (dari mereka).

Kesimpulannya kita katakan bahwasanya tidak mengapa meminta do’a kepada orang yang diharapkan do’anya terkabul dengan syarat hal itu tidak mengandung suatu perkara yang dilarang. Meskipun demikian meninggalkan hal ini (meminta do’a kepada orang lain) adalah lebih afdhol dan utama”[32]


Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Syaikh yang mulia, apakah meminta do’a kepada orang lain yang nampaknya merupakan orang yang sholeh menunjukan lemahnya tawakkal pada orang yang meminta?. Jika perkaranya demikian, maka bagaimanakah penjelasan Anda tentang Umar bin Al-Khotthob yang meminta do’a kepada Uwais Al-Qoroni padahal Umar lebih afdhol daripada Uwais?”

Syaikh Utsaimin berkata, “Meminta kepada orang lain untuk mendoakannya kalau bukan hanya hal ini (mengandung perkara yang tercela) kecuali adanya permintaan kepada manusia…, padahal Rasulullah diantara perkara-perkara yang Rasulullah membai’at para sahabatnya adalah أَنْ لاَ يَسْأَلُوْا النَّاسَ شَيْئاً (hendaknya mereka tidak meminta kepada manusia apapun juga). Dan lafal شَيْئاً (apapun juga) dalam konteks kalimat negatif memberi faedah keumuman maka mencakup segala sesuatu. Ini adalah kaidah ilmu ushul fiqh. Bahkan sampai-sampai ada tongkat salah seorang dari mereka terjatuh dan dia sedang berada di atas hewan tunggangannya maka iapun turun dan mengambil tongkat itu sendiri serta tidak berkata kepada seorangpun, “Ambilkanlah tongkatku?”. Karena mereka telah membai’at kepada Nabi untuk tidak meminta sesuatu apapun juga kepada manusia. Kalau tidak terdapat celaan dalam meminta do’a kepada orang lain kecuali hal ini (termasuk meminta sesuatu kepada manusia) maka cukuplah (untuk menunjukan tidak terpujinya hal ini-pen). Akan tetapi terkadang muncul di hati seseorang perasaan merendahkan dirinya dan prasangka buruk maka iapun meminta orang lain (untuk mendo’akannya). Kita katakan, “Wahai saudaraku, berprasangka baiklah kepada Allah!, berprasangka baiklah kepada Allah!. Jika engkau memang bukan termasuk orang yang dikabulkan do’anya maka do’a orang lain (untukmu) tidak akan bermanfaat bagimu. Hendaknya engkau berprasangka baik kepada Allah dan janganlah engkau mengambil perantara antara engkau dengan Allah untuk berdo’a bagimu. Hendaknya engkau sendirilah yang berdo’a kepada Allah. Allah telah berfirman

(ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً) (الأعراف : 55 )

Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. (QS. 7:55)

Kemudian do’amu kepada Allah, do’amu itu sendiri merupakan ibadah, lantas mengapa engkau menyia-nyiakan kebaikan ini. Karena sebagian orang jika meminta orang yang nampaknya merupakan orang sholeh untuk mendo’akannya bisa jadi ia akan bersandar kepada do’a orang tersebut kemudian dia sendiri tidak berdo’a.

Kemudian juga ada permasalahan yang ketiga yaitu bisa jadi orang yang dimintai do’a akan terkena penyakit ghurur (ujub/kagum) dengan dirinya sendiri, dia akan menyangka bahwasanya dia memang orang yang berhak untuk dimintai do’a.

Akan tetapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika engkau meminta saudaramu untuk mendo’akanmu dengan maksud agar memberi manfaat dan berbuat baik kepada saudaramu itu atau memberi manfaat kepadanya karena jika ia mendo’akanmu di dzohril ghoib (tidak dihadapanmu) maka malaikat akan mendo’akannya pula dan berkata, “Bagimu juga semisalnya”, maka hal ini tidaklah mengapa[33], ini merupakan niat yang baik. Adapun jika engkau hanya mengharapkan engkau saja yang mendapatkan manfaat maka hal ini termasuk bentuk permintaan (kepada manusia) yang dicela.

Adapun yang engkau sebutkan tentang Umar yang meminta kepada Uwais untuk berdo’a baginya maka hal ini atas perintah Nabi dan hal ini juga merupakan hal khusus bagi Uwais. Oleh karena itu Nabi tidak meminta Umar untuk meminta do’a kepada Abu Bakar atau yang lainnya, padahal Abu Bakar lebih afdhol daripada Umar, lebih afdhol daripada Uwais, dan lebih afdhol dari sahabat-sahabat yang lainnya. Akan tetapi hal ini khsusus bagi Uwais dimana Nabi meminta kepada orang-orang yang bertemu dengan Uwais untuk berkata kepadanya, “Berdo’alah untukku”. Dan permasalahan-permasalahan yang khusus tidak bisa diumumkan melewati tempat khususnya.”[34]


Syaikh Sholeh Alu Syaikh pernah ditanya, “Apakah jika seseorang meminta orang lain mendoakannya dengan niat karena orang yang dimintai doa adalah orang yang dikabulkan doanya berbeda dengan orang yang meminta untuk didoakan, apakah ini merupakan kesyirikan?”

Beliau menjawab, ((Meminta doa dari makhluk pada asalnya hukumnya adalah boleh jika makhluk yang dimintai doa tersebut dalam keadaan hidup dan mampu untuk berdoa. Ada sebuah hadits dalam kitab sunan yang dijadijadikan pegangan oleh para ulama meskipun sanadnya lemah bahwasanya Nabi r berkata kepada Umar لاَ تَنْسَنَا يَا أَخِي مِنْ دُعَائِكَ ((Janganlah lupa mendoakan kami wahai saudaraku))[35]. Dan ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang Uwais Al-Qoroni ((Barangsiapa yang mampu didoakan oleh Uwais maka lakukanlah)), hal ini menunjukan bahwa meminta didoakan dari orang yang hidup hukumnya adalah boleh, dan para sahabat meminta doa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun di sana ada perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa meninggalkan meminta doa dari orang yang hidup adalah lebih utama kecuali jika dalam keadaan dimana orang yang meminta untuk didoakan berharap untuk mendapatkan manfaat dan juga agar yang diminta untuk berdoa juga mendapatkan manfaat. Ia berkata, “Jika orang yang meminta untuk didoakan mrngharapkan manfaat bagi yang berdoa dan bagi yang didoakan berbarengan maka hukumnya adalah boleh. Adapun jika yang meminta doa berharap kemanfaatan untuk dirinya sendiri maka meninggalkan meminta doa kepada orang lain adalah lebih utama”

Adapun perkataan penanya “Si fulan termasuk orang yang terkabul doanya”, maksudnya adalah seringnya (dikabulkan doanya) bukan berarti bahwasanya setiap ia berdoa pasti dikabulkan, namun maksudnya di sini adalah orang yang sering doanya terkabul, artinya jika ia berdoa maka kebanyakan doanya dikabulkan. Namun hakekatnya sebagaimana yang telah aku jelaskan pada kalian bahwasanya para nabi mereka termasuk orang-orang yang terkabul doanya bahkan mereka lebih afdhol dari orang-orang yang dikabulkan doanya dari kaum mereka, merekapun (yaitu para nabi) sebagian doa mereka tertolak, maka pengabulan doa tergantung dengan sebab-sebab syar’i dan qodari dan Allah memiliki hikmah yang tinggi.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam kitabnya tahdzibul Atsar dan yang lainnya bahwasanya Hudzaifah tatkala sebagian orang memintanya untuk berdoa kepada mereka maka iapun berdoa, kemudian ia diminta pada kali lainnya lagi maka iapun menolak dengan menggerakkan kedua tangannya seraya berkata, “Apakah kami adalah para nabi?”. Ini merupakan pengingkaran dari orang yang lebih rendah dari para nabi. Ini adalah meminta doa kepada orang yang dibawah para nabi, dan ini jelas.

Memiliki keyakinan terhadap seseorang bahwa ia terkabul doanya lalu dimintai doa “Wahai fulan doakanlah kami”, yang seperti ni bisa jadi merupakan sebab timbulnya keyakinan-keyakinan (yang syirik) pada dirinya setelah kematiannya. Jika ia diminta (untuk mendoakan) sekali atau dua kali (maka tidak mengapa), adapun selalu dimintai “Doakanlah kami wahai fulan”, maka ini bukanlah jalan para salaf)) (dari syarah kasyfus syubhat)

Penulis: Firanda Andirja


Artikel www.firanda.com

------------------------------------

[1] HR Muslim IV/1968 no 2542

[2] Al-Minhaj (XVI/95)

[3] HR Muslim IV/1969 no 2542

[4] Yaitu nama suatu kabilah di Yaman (Faidhul Qodir 3/451)

[5] Musnad Abu Ya’la (1/188), demikian juga dalam riwayat Al-Hakim di Al-Mustadrok 3/456 no 5720 :

Uwais berkata, فَأَذْهَبَهُ عَنِّي إِلاَّ مَوْضِعَ الدِّرْهَمِ مِنْ سُرَّتِي لِأَذْكُرَ بِهِ رَبِّي (Maka Allahpun menghilangkan penyakitku kecuali seukuran dirham di pusarku agar aku bisa mengingat Robku”

[6] Al-Mustadrok 3/456 no 5720

[7] Al-Mustadrok (III/456 no 5720)

[8] Yaitu salah seorang pemuka kabilah Arab.

[9] Musnad Ibnul Mubarok (I/19)

[10] Al-Mustadrok (III/456) no 5720

[11] Dalam Musnad Ibnul Mubarok, فَلَمَّا فَشِيَ الْحَدِيْثُ هَرَبَ فَذَهَبَ “Tatkala tersebar berita (perkataan Umar tentang Uwais) maka iapun lari dan pergi”, yaitu karena orang-orang pada berdatangan memintanya untuk beristigfar kepada Allah bagi mereka sebagaimana dalam musnad Abu Ya’la Al-Maushili (I/188)

[12] HR Muslim 4/1969 no 2542.

[13] Madarijus Salikin 1/ 321-324

[14] Al-Minhaj XVI/94

[15] Berkata Syaikh Abdul Malik Romadloni : “Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam “Al-Ma’rifah wa At-Tarikh” (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasq (22/68), dan sanadnya sohih”.(Sittu Duror hal 45)

[16] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500

[17] Dari ceramah beliau yang berjuduk ikhlas

[18] Berkata Syaikh Abdul Malik Romadloni: “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror hal 46)

[19] As-Siyar (11/210)

[20] As-Siyar (11/211)

[21] As-Siyar (11/211)

[22] As-Siyar (11/211)

[23] Berkata Syaikh Abdul Malik :”Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (7/248) dan Al-Fasawi (2/239), dan sanadnya shahih” (Sittu Duror hal 47)

[24] Lihat takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Romadloni hal 47.

[25] Berkata Guru kami Syaikh Abdulqoyyum, "Adapun orang-orang yang memerintahkan para pengikutnya atau rela para pengikutnya mencium tangannya lalu ia berkata bahwa ia adalah wali Allah maka ia adalah dajjal"

[26] Ini merupakan hadits yang marfu’ dari Nabi, yang diriwayatkan dari banyak sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu “Abbas, Ibnu Ma’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin Haidah, dan Anas bin Malik. Berkata Syaikh Al-Albani :”Kesimpulannya hadits ini dengan jalannya yang banyak serta syawahidnya adalah hadits yang shahih, tidak diragukan lagi. Bahkan termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli hadits muta’akhirin” (As-Shohihah 4/539, hadits no 1908)

[27] Lihat ketiga atsar tersebut dalam Sifatus Sofwah (2/96) (Aina Nahnu hal 9)

[28] Dinukil dari kitab Az- Zuhud, Imam Ahmad

[29] Al-Minhaj 16/96

[30] Dari syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah hadits yang ke 31

[31] Al-Minhaj XVI/95

[32] Silsilah Liqo’ al-Baab al-Maftuuh, kaset no 59 side A

[33] Lihat Majmuu’ Fataawa (XXVII/69-70) dan

[34] Silsilah Liqo’ al-Baab al-Maftuuh, kaset no 46 side B

[35] HR Abu Dawud II/80 no1498 dan didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani

Muslimah Cantik, Bermahkota Rasa Malu

Muslimah cantik, menjadikan malu sebagai mahkota kemuliaannya…” (SMS dari seorang sahabat)

Membaca SMS di atas, mungkin pada sebagian orang menganggap biasa saja, sekedar sebait kalimat puitis. Namun ketika kita mau untuk merenunginya, sungguh terdapat makna yang begitu dalam. Ketika kita menyadari fitrah kita tercipta sebagai wanita, mahkluk terindah di dunia ini, kemudian Allah mengkaruniakan hidayah pada kita, maka inilah hal yang paling indah dalam hidup wanita. Namun sayang, banyak sebagian dari kita—kaum wanita—yang tidak menyadari betapa berharganya dirinya. Sehingga banyak dari kaum wanita merendahkan dirinya dengan menanggalkan rasa malu, sementara Allah telah menjadikan rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاء

“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah no. 4181. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,

الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَر

“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”(HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 1/73. Al Hakim mengatakan sesuai syarat Bukhari Muslim, begitu pula Adz Dzahabi)

Begitu jelas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan teladan pada kita, bahwasanya rasa malu adalah identitas akhlaq Islam. Bahkan rasa malu tak terlepas dari iman dan sebaliknya. Terkhusus bagi seorang muslimah, rasa malu adalah mahkota kemuliaan bagi dirinya. Rasa malu yang ada pada dirinya adalah hal yang membuat dirinya terhormat dan dimuliakan.

Namun sayang, di zaman ini rasa malu pada wanita telah pudar, sehingga hakikat penciptaan wanita—yang seharusnya—menjadi perhiasan dunia dengan keshalihahannya, menjadi tak lagi bermakna. Di zaman ini wanita hanya dijadikan objek kesenangan nafsu. Hal seperti ini karena perilaku wanita itu sendiri yang seringkali berbangga diri dengan mengatasnamakan emansipasi, mereka meninggalkan rasa malu untuk bersaing dengan kaum pria.

Allah telah menetapkan fitrah wanita dan pria dengan perbedaan yang sangat signifikan. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam akal dan tingkah laku. Bahkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 228 yang artinya; ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya’, Allah telah menetapkan hak bagi wanita sebagaimana mestinya. Tidak sekedar kewajiban yang dibebankan, namun hak wanita pun Allah sangat memperhatikan dengan menyesuaikan fitrah wanita itu sendiri. Sehingga ketika para wanita menyadari fitrahnya, maka dia akan paham bahwasanya rasa malu pun itu menjadi hak baginya. Setiap wanita, terlebih seorang muslimah, berhak menyandang rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.

Sayangnya, hanya sedikit wanita yang menyadari hal ini…

Di zaman ini justeru banyak wanita yang memilih mendapatkan mahkota ‘kehormatan’ dari ajang kontes-kontes yang mengekspos kecantikan para wanita. Tidak hanya sebatas kecantikan wajah, tapi juga kecantikan tubuh diobral demi sebuah mahkota ‘kehormatan’ yang terbuat dari emas permata. Para wanita berlomba-lomba mengikuti audisi putri-putri kecantikan, dari tingkat lokal sampai tingkat internasional. Hanya demi sebuah mahkota dari emas permata dan gelar ‘Miss Universe’ atau sejenisnya, mereka rela menelanjangi dirinya sekaligus menanggalkan rasa malu sebagai sebaik-baik mahkota di dirinya. Naudzubillah min dzaliik…

Apakah mereka tidak menyadari, kelak di hari tuanya ketika kecantikan fisik sudah memudar, atau bahkan ketika jasad telah menyatu dengan tanah, apakah yang bisa dibanggakan dari kecantikan itu? Ketika telah berada di alam kubur dan bertemu dengan malaikat yang akan bertanya tentang amal ibadah kita selama di dunia dengan penuh rasa malu karena telah menanggalkan mahkota kemuliaan yang hakiki semasa di dunia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128) Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang adalah wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/191)

Dalam sebuah kisah, ‘Aisyah radhiyyallahu ‘anha pernah didatangi wanita-wanita dari Bani Tamim dengan pakaian tipis, kemudian beliau berkata,

إن كنتن مؤمنات فليس هذا بلباس المؤمنات وإن كنتن غير مؤمنات فتمتعينه

“Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.” (disebutkan dalam Ghoyatul Marom (198). Syaikh Al Albani mengatakan, “Aku belum meneliti ulang sanadnya”)

Betapa pun Allah ketika menetapkan hijab yang sempurna bagi kaum wanita, itu adalah sebuah penjagaan tersendiri dari Allah kepada kita—kaum wanita—terhadap mahkota yang ada pada diri kita. Namun kenapa ketika Allah sendiri telah memberikan perlindungan kepada kita, justeru kita sendiri yang berlepas diri dari penjagaan itu sehingga mahkota kemuliaan kita pun hilang di telan zaman?

فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman: 13)

Wahai, muslimah…

Peliharalah rasa malu itu pada diri kita, sebagai sebaik-baik perhiasan kita sebagai wanita yang mulia dan dimuliakan. Sungguh, rasa malu itu lebih berharga jika kau bandingkan dengan mahkota yang terbuat dari emas permata, namun untuk mendapatkan (mahkota emas permata itu), kau harus menelanjangi dirimu di depan public.

Wahai saudariku muslimah…

Kembalilah ke jalan Rabb-mu dengan sepenuh kemuliaan, dengan rasa malu dikarenakan keimananmu pada Rabb-mu…

Jogja, Jumadil Ula 1431 H
Penulis: Ummu Hasan ‘Abdillah
Muroja’ah: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal

Referensi:
Yaa Binti; Ali Ath-Thanthawi
Al Hijab; I’dad Darul Qasim

***

Artikel muslimah.or.id

Senin, 27 September 2010

Jawaban itu…

Ketika hati bergemuruh untuk menyalahkannya..
Seketika rasa itu membias..membiaskan pada orang yang selama ini dekat dengan kita.
Kita selalu menyalahkannya..
Menggerutuinya di dalam hati..
Memberikan panampakkan murka padanya..
Hei,,saiapakah dia?
Siapakah yang telah kita sesali atas tindakannya terhadap diri ini..
Ia yang tak pernah tahu apa maksud kita atau kita yang tak pernah tahu akan keinginannya..
Betapa durhakanya kita ketika kita terus menggerutu karena menyalahkan tindakannya atas diri kita..
Kita selalu egois,,egois karena kedunguan diri kita terhadap ilmu Agama..
Ilmu yang menuntun kita untuk selamat dunia dan akhirat..
Semua pertanyaan kita,penggurutuan hati kita,,penyesalan diri kita atas takdir kita akan dijawab oleh ilmu agama ini..Agama yang dibenarkan oleh Alloh ’azza wa jalla.
Duhai betapa malunya,ketika perlakuan kita terhadapnya selama ini.
Kau tahu siapa ia??
Ia adalah ibumu,,ya ibumu..ibumu..
Aku telah menggerutuinya,,aku telah mengesalkannya,,
aku yang tak pernah mengerti keinginannya..
pagi ini, jawaban itu telah ku dapatkan dari sebuah surat yang di kirim oleh sebuah group yang disadur oleh ust.armen.
ia,,ia tak pernah mengharapkan harta benda yang kita dapatkan.
Ia tak pernah mengharapkan ketenaran kita di dunia ini.
Ia hanya ingin menjadi sahabat kita kelak ketika ia sudah tua renta..
Namun terkadang kita egois..egois untuk terus mendapatkan apa yang kita inginkan.
Kita ingin segala yang kita mau,namun kita tidak ingin apa yang ia mau.
Nafsu kita terlalu amat besar untuk kita turuti..
Sehingga menhalangi pemandangan indah syurgaNya yang ada pada diri ibu kita.
Betapapun peraturan yang ia buat seharusnya menjadi pijakan kita untuk terus berbakti padanya, meraih indahnya syurga kelak di akhirat nanti..
Bersabar untuk terus berbakti padanya walaupun terasa pahit dan berat..
Terus berdo’a agar bakti kita terhadapnya diterima sebagai amal baik kita..
Wallohu’alam
Especilly for my mom. Really i love u so much. More than everything in the world. 

Sepenggalan kisah


Sepenggalan kisah
Awan menunjukkan wajah mendungnya
Aku tak tahu yang pasti nanti terjadi
Yang ku tahu mendungnya ini terjadi akibat terlalu beratnya beban yang ada di dalam jiwanya.
Sama seperti manusia yang jika diberikan sedikit cobaan, ia akan menunjukkan wajah yang mendung dan muram. Walau begitu Tak semua manusia di dunia ini yang bersifat kusebutkan tadi.
Hari ini, cuaca mendung mengikuti dan menyambut kedatangan ibu beserta anak yang digendongnya.
Wajahnya sedikit kusam, begitupun anaknya yang menandakan terlalu pelik kebutuhan kehidupan dunia melandanya.
Ia hanya membawa satu dari 12 orang anaknya. Ya, 12 anak. Keluarga macam ini masih ada kawan. Masih ada di lingkungan modern yang melanda negeri ini.
Berbeda dengan orang kota yang mempunyai anak sebanyak itu, ia merupakan orang desa yang bisa dibilang terbelakang dalam perekonomian.
Tuhan, aku takut. Takut akan peringatan nabi-Mu, yang mneyebutkan seorang manusia akan kufur atau kafir disebabkan oleh kefakiran.
Ya, aku takut keluarga itu akan menjadi kufur ataupun kafir karena perekonomiannya yang tak cukup. Namun tau apalah aku ini, Alloh yang menciptakan bumi beserta isinya tak kan mungkin menelentarkan hamba-Nya. Aku hanya bisa berdo’a untuk keimanan pada keluarga itu.
Seperti biasa, ia datang untuk meminta uluran bantuan keluarga dari kami. Duhai, betapa inginnya aku dan keluarga ini memberikan setumpuk emas untuk keperluan hidupnya.
Apadaya, saat ini perekonomian dapur sedang terpuruk.
Tahukah, ibu itu masih memperhatikan zakat untuk keluarganya. Yang harus membayar 14 kepala. Aku malu dengan peristiwa yang ada di hadapnku, ya Robb. Malu karena apakah aku mampu memikirkan itu semua jikalau nanti kehidupanku seperti itu. Aku tak tahu, apakah negeri ini masih peduli dengan orang-orang macam ia. Orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dari para dermawan.
Tahukah kawan, ia saat ini tinggal di kabupaten karawang. Salah satu lumbung padi indonesia yang menyumbangkan energi para penduduk negeri ini, baik kaya maupun miskin. Namun pada kenyataannya, sebagian dari penduduk desa itu masih dilanda kemiskinan. Sungguh menggetarkan jiwa, miris.
Ia tinggal di sebuah desa, di tengah-tengah sawah. Yang aku syukuri untuk saat ini pada dirinya adalah ia masih memakai jilbab, meskipun tak tahu jika dirumah mengenakan atau tidak. Setidaknya saat ini ia masih memiliki keimanan dalam lubuk hatinya. Yang masih mau mematuhi perintah-Mu.
Hei, aku pun pernah sedikit mendengar, betapa ia melahirkan sendiri tanpa bantuan medis apapun. Luar biasa ! aku tak tahu apakah uang yang menyebabkan ia melakukan sendiri atau karena tak ada orang di dekatnya saat itu. Seorang ibu yang mempertahankan kehidupan anaknya. Jihad fisabilillah.
Yang aku takut adalah anaknya diberikan oleh orang nomuslim, seperti kejadian tetanggaku dulu. Semua anaknya ada yang di jual kepada orang nonmuslim. Betapa dosanya jika sampai anak tak berdosa itu di berikan kepada orang yang salah.
”Ya Robb, lindungilah keluarganya dari kekafiran”
Ketika negeri ini menggalakkan program keluarga berencana. ”cukup 2 saja” sungguh ironis kawan.karena nabi kita Muhammad menganjurkan pada kita untuk memperbanyak keturunan. Seperti inilah kulontarkan jawabanku pada keluarga ketika mereka menggumam kesalahan ibu itu karena mempunyai banyak anak. Aku tahu mungkin keluarga ini tak mempunyai sedikit ilmu agama untuk permasalahan ini. Aku tak menyalahkannya, namun aku hanya memberitahu yang benar. Memberitahu bahwa kita wajib mengikuti Alloh dan Rosul-Nya.
Ketika orang-orang saat ini mulai menjauhi perintah Alloh dan Rosul. Ketika itu pula kemungkinan musibah akan menimpa kita. Sedikit demi sedikit ku kerahkan tenaga untuk menyumbangkan ilmu yang ku dapat dari tempat pengajian. Mungkin suatu saat kamipun dapat pertolongan cahaya ilmu-Mu ya Robb. Yang akan menuntun kami pada syurga-Mu.
Hari ini,,ramadhan ke-28. sedikit rizki-Mu telah mengalir padanya. Amanah rizki-Mu telah kami sampaikan padanya. Tak tahu, apakah 10 kepala disana merasakan senang ataupun legowo terhadap apa yang didapat ibunya setelah dari rumah ini. Rumah tempat kami berteduh,bersedih,bersenang, mengukir hari-hariku dan keluarga dalam kanvas kehidupan kami.


28 ramadhan 1431 H

Minggu, 12 September 2010

jalan-jalan di pagi hari

hr ni gw n keluarga prgi k kampus ipb..
Biasany beli sarapan pagi..
Sxan kuliner makanan..hehe.
Gw beli tahu gejrot..
Beda bgt sm yang di jakarta..
Di bogor, kuahnya pk kacang..
Td awalnya, gw piqr rasanya bakalan aneh. Eh,ga taunya. Enak bgt bro'..hehe.
Nah trus,,qt bljt k tkg gado2..
Sbnrny gue udh mkn di rmh.ni cm nemenin kk n adk gw aj.
Awalny,qt sbr bwt nunggu.tp kok lama bgt yak..qt smw liat,orang yg dtg blakangan udh dlayanin.eh,giliran kk gw blm.
Otomatis dah,qt smw geram.n kk gw ngomel2 ga karuan.finally,qt ga jd bli..hehe.
Pelajaran bwt para pedagang: dahulukan pembeli yg dtgny lbh awal. Jg jgn gr2 kenal jd didahulukan atw org lbh tua ddahulukan.hehe.
Jdny qt makan bubur ayam.enak jg lho mknn yg 1 ni.hehe.
Oh ya, psr dkmpus ni cm hr mggu aja bukanya.hehe.
Sampe sini oleh2 cerita gue.moga bermanfaat ! :)

Sabtu, 11 September 2010

Makanan di 1 syawal 1431 H,-

Makanan...
Pas lebaran,alhamdulilah berkah..
Mulai dr kue smp makanan berat. Ni gw ksh tw:
mulai dr kue dl ya..
1. Kue Nastar..hmm mengasyikkan.stiap lebaran keluarga gw wajib bwt bikin ni kue.. Nastar itu menurut gue singkatan lho..
"Nanas Tar" Hehe..
2. Kue keju,,adonanny sm kyk kue nastar.cm udh tw dr namany.ya, tggal dksh keju aja.hehe.di dlm adonan maupun diats kuenya.hehe.
3. Keripik simping..
Gilaaa..capek bgt ngegilingny,.smp2 tuh mesinnya bunyi ngik-ngikkan..alias bedecit.gw aj capek, aplgi tu mesin.haha.n prlu xan tw.gw,nyokp,n adk gw smp ketawa ngakak..wkwkwkwk.
4.kacang goreng.yg ga bakal bs brenti kl mulut udh mkn ni mknn.
5. Seblok.. Keripik isi kcg ijo..mknan

Jumat, 10 September 2010

Perjalanan menuju rumah di kampung

Hari ini tanggal 1 syawal..
Yeah..km tau ada peringatan apa di tanggal itu?
Yupz..lebaran ied fitri.
Spt biasa qt smw stlh shlt berbenah utk mudik.
Mudik ke bogor..
Deket bgt ya..
Walopun bgt..tep aj ni namanya mudik. Krn qt cm 1thn sx dlm rangka silaturahim ke rmh nenek.
Awal berangkat niatny mw naik mobil.tp kk gw ga mw nyupir. Terpaksa,mesti nyari supir.n then..hr gni nyari supir? Ke laut aj lho..
Mana ad org nganggur dhr lebaran.mereka pd sibuk bwt ngerayain brg kelwrg.
So, qt terlantar bwt k tmpt tujuan..nunggu smp gw ngebatalin janji ma temen.tep ga brgkt2 jg.
Qodarulloh, qt memutuskan utk naik kereta..tut.tut.naik krt api.
Hehe..sdkt seneng jg c. Cz udh brp thn qt prg mudik ga naik krt.
Gila..lumayan penuh. Qt tpksa BERDIRI..
Kasian..
Eh..gw bdri dkt pntu krta.mantabz !
Malam2 ngeliat jlnan di luar gerbong kn angin..keren..
Gw miqr gmn kl b2 dgn suami t'saiank..haha..parah.
Oh iy..gw ktmu sm tmn smp gw. Ga ad yg b'ubah sm dy..hehe.
Nah,,pas dkereta.gw smpet dagdigdug..
Pasalny..ayah gw du2k ddkt pintu.
Ad org yg marah2 gtu,gr2 thalang sm bdn ayah gw..
Hadoh..gw takut bgt tjd ap2..yo wis.gw cm bs berdo'a agr ga tjd ap2.. T.T
AKHIRNYA..qt smp jg di st.bgor.shlt dl qt..
Trus br mljtkn p'jalanan..seru !
Ok..smp sni dl ya crt jln2 mudik gw x ni.hehe.. :p