Senin, 18 Februari 2013

masa-masa tanpa beban part 1


Saya kangen masa-masa itu. Masa dimana tidak ada beban di pundak untuk menyelesaikan kewajiban. Saya tak pernah mengerti mengapa harus diperlakukan layaknya orang-orang yang ditekan untuk bersabar. Saya hanya ingin lulus itu saja. Saya ingin menyelesaikan itu secepat kilat. Saya tau ini adalah konsekuensi keputusan saya 4 tahun silam untuk mencari ilmu dan faedah di dalamnya. Tapi bukankah seseorang yang ingin menyegerakan kelulusannya itu adalah hal yang amat istimewa. Memudahkan urusan urusan orang lain akan menghasilkan kemudahan bagi dirinya sendiri. Saya juga tak pernah tahu apakah di luar negeri sana mahasiswa harus mengalami fase seperti ini. Melalui masa-masa yang dipersulit oleh sang pakar ilmu kepenelitian yang diambil. Bagi saya suatu kehormatan yang amat tinggi jika ada seorang pakar mau memudahkan mahasiswanya untuk lulus. Tapi pada faktanya banyak teman-teman pun harus melalui fase ini. Fase dimana harus menunggu dan menunggu, hingga akhirnya kelulusan yang ada harus ditunda dalam beberapa waktu yang lama. Membuat mahasiswa di negeri ini sangat jarang sekali yang lulus dengan tepat waktu.

Saya kangen di masa-masa memakai baju seragam baju merah-putih. Berlari ke sana kemari mengejar satu sama lain. Berjingkat-jingkat dari kejaran teman. Mengumpat di satu dinding lemari. Menerpa semilir angin yang datang dari segala arah. Masa-masa dimana guru antusias mengajarkan muridnya untuk lebih cerdas dari sebelumnya. Mengajarkan angka matematis ataupun perubahan alam di luar sana. Kami selalu tidak pernah berfikir ada guru yang jahat menelantarkan muridnya yang antusias untuk belajar. 

Belajar bahwa hidup itu butuh ilmu, bersaing dengan orang-orang di luar sana. Satu dua kali kami membandel tidak mendengarkan perintah mereka, tapi mereka dengan tulus memperhatikan kami, menegur agar serius belajar dalam kelas. Kelak kami menjadi orang dewasa yang cerdas dan siap bersaing melawan pahitnya dunia ini. Hanya orang-orang yang cerdaslah yang dapat bertahan hidup, itu yang dapat ku petik dari pembelajaran budi pekerti yang mereka ajarkan. Kepala sekolah kami yang merangkap sebagai guru IPA, galaknya luar biasa. Beliau mendidik kami dengan pembelajaran yang unik. Beliau mengantarkan muridnya dalam bersaing mendapatkan beasiswa. Ya, saya kangen masa-masa itu. Kangen diperhatikan oleh guru-guru tercerdas sepanjang masa. Mengajarkan kami anak-anak dari pemukiman kumuh. Mengajarkan kami betapa belajar itu perlu kesabaran. Sabar dalam mengikuti semua pelajaran hingga selesai. Saya tak pernah menyangka sampai sejauh ini saya melangkah, menjadi mahasiswa yang masih amat sempit wawasannya.

Saya kangen masa dimana kami mengambil daun cincau dan dibuat sendiri di rumah. Memetik daun itu di halaman sekolah kami dulu. Sekolah yang tidak memiliki ruang guru. Sekolah yang hanya memiliki satu ruang administrasi yang digabung dengan ruang kepala sekolah. Ruang sempit nan pengap ditambah bocor ketika hujan tiba. Semua repot dengan kelakuan tingkah masing-masing ketika hujan turun. Menadangkan air hujan yang turun dari dahan pohon dan atap genting sekolah. Menciprat-cipratkan air ke wajah teman-teman. Berteduh hingga hujan reda di lorong-lorong sekolah. Atau menunggu jemputan sanak saudara membawakan payung. Berjalan pelan agar baju tak kecipratan dan membuka sepatu agar tidak kebahasan.

Saya kangen berteriak-teriak gemas menanti teman agar tidak tertangkep saat bermain “bentengan”. Salah satu permainan anak kampong, yang harus menjaga pertahanannya dari lawan. Tertangkap jika terkena tepukkan lawan. Menjadi sandera lawan dan harus dibebaskan, agar benteng kami banyak yang menjaganya. Indah sekali masa-masa ini, masa-masa tak ada rasa beban, tak ada rasa kesal, tak ada rasa iri atau apapun itu. Walaupun kami takut atau gelisah, tetapi itu tak pernah ada di kepala, itu hanya sebuah warna dalam hari. Esok lusa pun akan terlupakan sendiri. Kami selalu bercengkrama, memasak-masakkan, berjalan-jalan, memanjat pohon jambu. Semua tak ada beban di hati. Indah sekaali masa itu.

Tapi seindah apapun masa lalu, itu hanya masa lalu. Sudah usang termakan waktu. Tak dapat di putar kembali. Ia hanya indah jika dikenang, tak lebih tak kurang. Duhai adakah urusan ini kelak menjadi urusan yang indah dan tak menjadi beban dalam hidup saat ini. Urusan orang dewasa memang rumit. Mesti memahami tidak boleh tidak dipahami. Semua menjadi kelam ketika tidak ada kata “sabar” dalam menjalaninya. Semua harus menggunakan kata “ikhlas” dalam menerimanya. Tokoh utama dalam cerita kita adalah diri kita sendiri. Kita yang mampu menyelesaikannya, kita yang mampu melaluinya dengan ikhtiar dan tawakkal pada-Nya. Percayalah akan janji-Nya bagi orang-orang yang bersabar dan bertaqwa pada-Nya. Kelak kita akan memetik janji-janji kehidupan yang lebih manis dari ini semua. Aamin.
Jakarta, 18 februari 2013.
-Sore yang mendung-