Tiga
Teman Sekolah
Jika hidup
bisa berdiri sendiri, maka niscaya kita tidak akan saling kenal satu sama lain.
Tapi kenyataannya hidup bukanlah suatu rutinitas tanpa warna. Setiap detik kita
selalu menemukan cara untuk mewarnai hidup kita. Dengan cara-Nya Allah
menetukan masing-masing dari kita menemukan seseorang bahkan lebih yang
mewarnai hidup kita.
Teori mengatakan
warna pelangi itu hasil dari pembiasan hujan dengan cahaya matahari. Saling bekerja
sama satu sama lain sehingg menimbulkan warna. Indah. Setiap lika-liku yang
kita hadapi hari ini hingga esok hari memiliki keindahan. Entah melalui siapa.
Allah menciptakan keindahan itu untuk kita. Termasuk dengan hadirnya seseorang
yang selalu membuat kesedihan kita menjadi kebahagiaan.
Pagi ini,
masuk pelajaran seni rupa. Pelajaran yang digemari oleh kebanyakkan
teman-teman. Pagi di sekolah itu membuat aku selalu senang. Menjadi bagian dari
golongan orang-orang yang menikmati kesunyian, aku selalu mengikuti irama yang
terjadi hari ini. Aku tetaplah seorang wanit yang perasaannya selalu lebih
tinggi dibandingkan logika. Menjadi seorang yang baru saja menemukan hal baru,
aku selalu mencari tempat yang nyaman. Termasuk dia. Amanda Larasati.
Pelajaran yang
aku tidak senangi ini mewarnai hidupku kala itu. Sejatinya aku sangat senang
artistic sebuah benda. Tapi entah mengapa aku bukanlah tipe oranag yang suka
dengan ukuran. Hari ini rupanya kami
harus menggambar sebuah gambar dengan menggunakan jangka. Dan apesnya
nasibku adalah hari ini tidak membawa apa yang disuruh. Jadilah aku harus
mencari pinjaman ke kelas lain. Aku bingung harus kemana mencarinya. Hingga seorang
temaan baru bernama Amanda larasati ini menjadi partnerku dalam mencari teman. Siapalah
aku, seorang yang tidak memiliki banyak teman, karena teman-teman SMP ku tidak
ada yang minat masuk ke sekolah tersohor kala itu, kecuali 2 temanku fitria dan
nade. Mencari jangka seperti membawa beban yang berat, karena aku bingung
mencari kemana, tidak ada yang aku kenal. Hingga tiba saatnya kami berdua
mencari jangka ke kelas lain. Hasilnya adalah dia dapat dan aku tidak dapat. Sedih,
kesal campur jadi satu. Inilah awal kisah yang melekat pada teman baruku ini. Teman
yang Allah berikan untukku hingga dewasa ini.
***
Kehidupan memang
selalu berputar mengikuti porosnya. Hidayah itu hak Allah ta’ala. Seorang yang
sebelumnya lugu dan bodoh, jika Allah berkehendak kebaikan pada seseorang itu
tidak ada yang tidak mungkin . pastilah orang itu berada terus diatas kebaikan.
Cahaya mentari menyorot dahan ranting pohon besar ini. Menyemburkan siluet yang
indah, memilin dengan pantulan lantai. Bunyi riuhnya kelas ini menghiasi ruang
tua ini. Sebuah ruang kelas yang rindang. Aku senang sekali melihat pohon besar
ini, pohon yang setiap sisinya diplester, hingga pinggirnya membentuk persegi
untuk duduk siswa yang sedang mengadakan acara atau sekedar berbincang.
Pagi ini,
jumat pertama. Jumat yang memesona bagiku. Setiap jumat ini selalu rutin ada
anggota ekskul yang masuk ke setiap kelas. Tentunya pagi jumat ini, dihiasi
dengan lantunan al qur’an. Sekolah negeri pada umumnya ini, selalu menyisakan
kesan indah dalam diriku. Disinilah aku menemukan hidayah-Nya. Menemukan sejuta
kebaikan, menemukan teman-teman yang membuat diriku sampai saat ini seperti
ini. Menyisakan kebaikan.
Meski belum
sempurna berhijab, aku pastikan hari jumat adalah hari yang baik untuk diriku
berhias layaknya seorang muslimah sejati. Menjulurkan hijab ke tubuhnya. Begitulah
diriku. Di awal aku sudah bercerita bukan ? tentang seseorang yang sampai saat
ini selalu terdengar ocehannya, di dunia nyata maupun dunia maya. Hingga saat
ini. Saat dimana kita sudah menjadi wanita dewasa. Bukan anak SMA dulu pertama
kali bertemu.
***
Hari jumat
ini, waktunya semua murid akan tertuju pada beberapa orang yang sibuk dengan
Al-Quran di tangannya. Sibuk dengan kertas kecil di tangannya. Dan sibuk dengan
kotak-kotak kecil yang siap diedarkan seluruh kelas.
Hari dimana
aku dapat melihat dua orang wanita yang menjulurkan hijabnya hingga seluruh
tubuh. Hijab berwarna putih. Setia menemani kita membaca kalamullah-Nya. Memberikan
untaian nasihat dan terakhir menyemangati kita untuk bertakbir. Keras, hingga
rasa kantuk hilang karena kaget.
Aku selalu
terpesona dengan sosok kakak kelas ini, mereka berbeda dari kebanyakkan kakak kelas yang lain. Penampilannya
tertutup, bersih, dan inilah yang aku benar-benar terpesona, jika jilbab
segiempat lebarnya tertiup angin maka akan berkibar di ujungnya serta jika
terpantul oleh cahaya maka baying ujung segiempatnya itu akan terlihat lebih
anggun. Sempurna.
Mereka berbeda.
Pun temanku satu ini. Sungguh-sungguh berbeda. Jika yang aku lihat kebanyakan
yang memakai jilbab adalah kakak kelas, temanku yang satu ini sudah dari awal
masuk hari pertama pakai jilbab. Malu aku dibuatnya. Betapa berbedanya dia. Aku
ketika itu tidak dekat dengannya. Dia di seberang baris bangkuku. Aku duduk di
depan bersama seorang yang namanya mirip denganku. Yang pasti ketika awal, aku
beda kelompok gosipnya dengan dia.
Kata orang,
kalo mirip itu langgeng temenannya. Apa iya ? entahlah. Yang pasti aku, selalu
tidak mau dibilang mirip. Dulu ketika pelajaran kimia, kami disalahpandang. Aku
disangka dia, dan dia disangka aku. Betapa bingungnya aku. Dimanalah letak
kemiripan kita berdua. Yang pasti dia lebih unggul dariku, mulai dari nilai
pelajaran hingga agamanya. Dia lebih dulu tertutup dariku. Mungkin jika aku
laki-laki, akan aku lamar duluan dia. Haha.
Semua yang
terjadi, tidak akan lari dari kehendak-Nya. Semuanya sudah teratur sedemikian
rupa. Hingga kadang kita tidak sadar sudah diperkenalkan oleh orang-orang yang
amat baik untuk kita. Orang-orang yang selalu menyelamatkan kita pada kebaikan.
***
Bel tertanda
pelajaran di hari jumat ini usai. Terik mentari mulai menembus cakrawala. Semua
sibuk, saling mencari teman. Mencari sesorang yang akan mengikuti ekskul
pilihan masing-masing. Suara tawa dan panggilan menghias di langit biru ini. Pohon
besar itu sudah mulai dihiasi oleh tubuh-tubuh mungil itu untuk melepaskan
penat. Betapa lelahnya seharian bahkan sepekan untuk belajar. Yang setiap hari
berulang.
Angin semilir
menjatuhkan satu dua daun kering dari pohon ini. Indah sekali. Atap-atap itu
penuh daun kering, hingga tumpah ke lapangan biru itu. Suara speaker masjid
mulai terdengar. Siswa laki-laki mulai tertarik magnet jumat ini. Tanda shalat
akan segera diselenggarakan.
Jumat siang
selepas sekolah ini adalah waktunya kakak kelas yang berbeda itu beraksi. Mengajak
kami anak baru untuk ikut acara mentoring. Acara dimana berisi nasihat-nasihat
dan ajakan pada kebaikan. Dua kakak yang biasa masuk ke kelasku ini ternyata
menjadi mentorku di kemudian hari. Awalnya kau asing, bingung mau ikut tapi
tidak ada teman. Ternyata temanku yang sudah terbungkus ini, mengajakku. Jadilah
aku rutin mengikuti ini. Terimakasih teman, terimakasih telah menjadi perantara
diriku untuk meraih kebaikan, yang mudah-mudahan aku terus berada di atas
kebaikan ini. Selama satu semester rutin ikut acara ini, selama itu pula aku
memupuk keberanian untuk meneguhkan pendirianku membalut diriku dengan hijab. Yang
aku awali di semester dua kelas sepuluh. Yang akupun mendapatkan ilmu banyak
dari kegiatan pesntren kilat dari acara rohis ini.
Jika ditanya
siapa teman paling berkesan untukku di dunia baru ini. Aku akan menjawab dia. Seorang
yang paling aku sebalkan dan aku rindui suara candanya. Jika ia menganggap aku
bukanlah seorang yang berpengaruh dalam hidunya. Tidak mengapa, karena aku
dilahirkan untuk beribadah pada-Nya. Seperti kata gambar yang aku baca : “life
is a journey from Alloh to Alloh”
Teman yang
sampai akupun selalu berkesan pada setiap katanya, bahwa hidup ini harus
dihadapi bukan dihindari. Menghadapi sebuah kenyataan yang harus kita hadapi. Kenyataan
bahagia maupun sedih. Kenyataan bahwa hidup tidak selalu bahagia, kebanyakan
adalah kita harus menghadapi perasaan kehilangan, hingga kita paham arti
kehilangan. Dan kita bukan menjadi seseorang yang membuat bagaimana rasanya
terluka.
Hidup bukan
berarti sebuah sandaran, tapi kita harus menjadi sebuah sandaran. Meski kita
tahu bagaimana rasanya lelah menjadi sebuah sandaran keluarga. Aku belajar
darinya dari semua rasa itu. Belajar bagaimana hidup harus terus maju tanpa
berhenti diam di tempat. Atau kita berjalan hanya di tempat, membuat raga lelah
tapi tidak ada hasil yang didapat. Kita akan selalu menemukan hal baru, dan
sesuatu yang baru ini harus kita hadapi dengan perasaan yang lapang. Hingga sesuatu
itu dapat kita letakkan di setiap sudut tanpa harus membuat rasa sempit.
Untuk kamu yang aku selalu sebalkan . kita selalu berebut akan suatu hal. Tapi aku tidak ingin memperebutkan syurga-Nya. Aku ingin membaginya tanpa harus berantem dulu !
The last ,
jika kamu ada dua ? aku akan membagi kebahagiaanku untukmu. aku akan membawa kamu belajar bareng di unayzah. seperti obrolan angin kita yang dulu. "mau ke unyzah belajar disana."