Selasa, 05 Agustus 2014

siluet senja lautan


 Angin berhembus kencang. Ku biarkan kain ini berhembus seiring tiupan sang angin. Ketika perasaan tak mampu lagi menopang beban hati. Mungkin hanya satu yang ku kerjakan, aku berdiam diri menatap kejauhan langit biru. Menatap sendunya awan bergerak dihembus sang udara pagi ini. Melihat fenomena ini, aku semakin yakin bahwasanya manusia mampu menopang perasaan sakit ketika yang didamba mengkhianatinya. Tak ada yang salah dengannya, mungkin perasaannya saja yang sedang sendu didera nestapa takdir langit. Setiap hari, semakin jauh ku berjalan di muka bumi ini, aku semakin memahami perasaan sakit akan terbias oleh seribu macam aktivitas. Pun termasuk aktivitas yang tak ada manfaat sama sekali. Seperti menguliti kuku yang panjang, mencoret-coret buku bahkan cerita pada si bisu buku tulis yang bertelekkan diatas sudut kamar.
Beban hidup yang semakin tinggi mungkin pula sebagai obat kesibukan yang ampuh bagi perasaan yng sakit. Ketika ucapan-ucapan sabar dari sekeliling kita tak lagi mampu menembus rasa sakit ini, mungkin ada kala nya ucapan si pemalas benar. Duduk diam dan tataplah langit hari ini. Mungkin si yang Empunya langit daan bumi ini sedang menatapmu dari kejauhan di ‘arsy sana. Bicarakan saja dengan tatapan nanar mu pada-Nya. Sambil duduk malas mungkin kau bisa membiaskan perasaanmu. Atau mungkin kau perlu sekali-kali berlari-lari kecil di bawah rinaian hujan. Atau bahkan berkali-kali. Mungkin.
Laju kereta terus berlari hingga menimbulkan getaran jendela. Padahal rel kereta cukup jauh dari kayu lapuk rumah ini. Tapi aku masih bisa merasakannya. Bisa merasakan getaran lari kencangnya menembus rel demi rel hingga stasiun terakhir tiba. Di jejeran rel ini, berdiri banyak sekali gubuk-gubuk mungil yang penghuninya mungkin sudah kebas oleh getaran si kereta yang tiap detik berlalu lalang. Ku perhatikn kembali sambil duduk diatas jok motor, mereka bahagia. Iya mereka bahagia dengan keadaan mereka saat ini. Satu dua anak kecil duduk di seberang rel. bermain dengan riangnya. Melewati hidup ini tanpa beban. Berteriak sebebas mungkin, sesuka mungkin dan sekencang mungkin. Tapi suara mereka kalah oleh getaran dan terompet bel kereta tanda akan melewati palang rel.
Kebahagiaan itu bukan lagi milik seseorang yang digariskan oleh takdir menjadi permaisuri setiap hari. Bukan lagi milik sang raja negara setiap hari. Kebahagiaan ada pada masing-masing lubuk hati seseoranag yang memahami hakekat hidup ini. Pandanganku tertuju pada seorang wanita muda yang sedang menggendong permata hatinya. Dengan kain lusuh dan wajah cokelat karena seringnya terkena debu jalan. Mata itu beribacara, hidup itu bukan lagi mencari kebahagiaan tetapi hidup itu mempertahankan kebahagiaan dari dalam hati. Mensyukuri apa yang diberikan dan mengikhlaskan yang telah ditakdirkan.
Mengikhlaskan apa yang telah ditakdirkan itu bukan sebuah kata yang mudah diaplikasikan, begitu tulisan update seorang teman. Mengikhlaskan seseorang yang telah mengkhianati kita itu sungguh berat. Melihatnya bermain riang dengan kebahagiaan barunya sungguh membuat hati luka. Terkadang hati memang berontak atas apa yang telah digoreskan tapi untuk menyembuhkannya hanya butuh ilmu syukur dan sabar. Ah itu mungkin tidak cukup bagiku. Betapapun besarnya cadangan sebuah rasa syukur dan sabar, mungkin belum bisa instan mengikhlaskan yang telah terjadi.
Kereta sudah melintasi pintu, kini saatnya aku berlalu dari lokasi ini. Lokasi yang cukup membuat teduh bagi mereka yang tak tahu harus mencari penghidupan yang layak di kota besar ini. Kota besar di negara berkembang. Negara dengan devisa terbesar dari para saudariku yang rela memutuskan pendidikannya demi sesuap nasi di negeri seberang. Negara yang akan terus dicap berkembang oleh negara maju di seberang benua sana. Negara yang mayoritas muslim tapi tak menampakkan kemuslimannya. Mungkin karena nenek moyang kami yang diasuh oleh nona belanda. Jadi sedikit kami meniru dengan banyak peraturan dan kebiasaan dari sana.
Malam dihiasi bintang gemintang, aku tak tahu disana juga dihiasi bintang seperti disini kah?. Akupun tak tahu disana merindukan kebahagiaan yang sama kah seperti disini? Akupun tak tahu. Besok waktunya bergegas melintasi garis pantai pulau jawa paling utara. Iya paling utara, dimana pulau sumatera terlihat begitu megah dari sini. Dari garis pantai ini. Garis pantai yang sungguh teduh permukaannya. Mempersiapkaan diri untuk berperang dengan medan area yang kata orang seperti desa tak terurus. Berantakan dari segi akses dan kesulitan dari segi irigasi persawahan. Dan katanya lagi desa tertinggal ini desa yang tak pernah terkunjungi sehingga masih asri.
Udara subuh mulai menyerebak, lantunan suara di masjid sudah mulai terdengar. Subuh itu waktu yang masih asri karena orang-orang munafik masih tertidur pulas. Subuh dan isya itu waktu berat bagi orang-orang munafik. Semoga kita tidak termasuk dalam bagian mereka. Subuh pagi hari waktu dimana kesunyian masih menyeruak. Hati masih teduh dari kehidupaan hiruk pikuk dunia. Kebahagiaan terus memilin dari langit menuju bumi, memilih orang-orang yang sudah mulai sibuk beribadah daan membuka harinya dengan lantunan ucapan-ucapan kebaikan. Subuh ini aku mulai sibuk dengan segala perlengkapan menuju lapangan. Membuka cakrawala wawasan di desa nun jauh disana. Membuka mata hati untuk melihat kebahagiaan saudara-saudaraku disana. Dan mengambil sedikit kebahagiaan yang ada di benak mereka.
Setelah pengarahan dari ibu Kajur, kami lantas berangkat menuju desa menggunakan bus tiga per empat. Bus yang digunakan kedinasan tentara. Memasuki area tol, area bebas hambatan. Yang pada kenyataan sedikit banyak hambatan disini karena jalanan over kuota terhadap penggunaan jalan ini. Sperti yang kujelaskan tadi, negeri ku ini negara dengan label berkembang. Pasokan barang-barang mewah masuk dari mana-mana. Dan negeri tujuan ekspor bagi negara maju seperti jepang, USA, Kanada, Jerman dan negara eropa lainnya. Banyak sekali mobil baru yang masuk kesini. Tidak ada peraturan yang signifikan dijalankan oleh negara ini. Semua berhak membeli mobil, berapapun jumlahnya. Sehingga di ibu kota ini terjadi overlap kendaraan, mulai dari kendaraan muda sampai kendaraan yang barang bakunya tidak lagi diproduksi karena terlalu lampau dalam pembuatannya.
Bus sedikit berhenti ditanjakan bukit pandeglang. Jalannya berliku-liku, naik turun hinggaa bus tua ini harus kehabisan bahan bakar. Dan kami pun turut beristirahat dengan duduk di pinggir jalan menatap sendunya desa ini. Pepohonan berdiri tegak, dedaunan menari lepas, angin lembah meniup baju kami. Sungguh wilayah yang jauh dari kebisingan. Sejuk tak terkira. Bus kembali berjalan hingga kami menemukan titik garis pantai dimana tak ada lagi penghalang antara mata kami dengan lautan luas. Tak ada lagi pengahalang antara wajah kami dengan sunset matahari senja.
Kami tiba sore hari menjelang maghrib dengan sambutan hangat ibu pemilik cottage. Keramahan yang berkesan dan sambutan air kelapa muda sungguh kisah yang takkan aku lupakan sampai saat ini. Duduk di pinggir teras dengan wajah lelah kami menatap sunset senja. Menatap iri pada senja yang selalu berbahagia ketika hendak pulang ke peraduaannya. Tahukah kamu mengapa aku senang dengan sunset senja?. Iya aku senang dengan sunset senja karena selalu menimbulkan siluetnya yang anggun. Menyibak kilau lautan luas hingga diri ini terbawa oleh sendunya senja sore itu. Menatapnya akan berlari ke bagian lain, aku sungguh takjub. Melepaskan kepenatan dalam hati dan meninggalkan seluruh aktivitas dirumah. Aku akan selalu menunggumu. Menunggumu dengan berdiri bersama siluetku ketika menatapmu. Menunggumu mengakhiri ini semua. Menunggumu untuk menceritakan kelak nanti aku akan melihatmu dengan dua bayangan…
-bersambung-

Senin, 04 Agustus 2014

Hikmah selalu bertebaran di setiap sudut waktu


 Menghitung kembali apa yang sudah berlalu. Mentari disini sudah mulai menampakkan wajahnya. Dengan diiringi suhu yang dingin, mentari mulai berjalan jingjit menunjukkan taring kecilnya. Langit duduk malas diatas sana. Merenung penduduk bumi yang semakin beringas meraih dunia ini. Tidak beringas tetapi juga tamak. Padahal dunia pun sudah menyiapkan amunisi tertajamnya bagi siapa saja yang tamak akan dirinya. Peluru-peluru berdesingan mencari sasaran yang dilepaskan oleh si empunya. Tak ada yang dapat disasarkan maka sang gedung menjadi tumpuan terakhir sang desingan peluru. Justru sasaraan ini merupakan sasaran tepat bagi sang peluru.  Semua berjatuhan hingga tak lagi dikenal sang rupa milik siapa dan jasad siapa.
Sambil bertelekkan tangan di muka, hari ini udara berdamai dengan kota ini. Berdamai dengan penduduk muka bumi ini untuk bernafas dengan teduh di sela dinginnya udara. Memikirkan masa depan memang tak ada habisnya. Memikirkan ini justru menghabiskan waktu masa depan. Ada sekumpulan anak disana justru bukan masa depan yang mereka pikirkan, tapi mereka memikirkan masa akhirat mereka. Mereka berlomba-lomba untuk bertemu dengan Rabb di ‘arsy sana. Dada mereka jika dibelah mungkin isinya Allah ‘azza wa jalla, nabi salallahu ‘alayhi wassalam di telaga kautsarnya dan jannah firdaus-Nya yang khusus dibuatkan Allah untuk para pejuang agama ini.

Kamu tahu ? kami disini justru mengisi waktu kami dengan nonton, music, makanan, dll.  Kami lupa kalau akhirat itu menanti kami. Ah iya bukan lupa tapi kami melupakan sepertinya. Malah kami disini enjoy dengan waktu luang kami yang diisi dengan khyalan. Begitujuga aku. Selalu mengkhayalkan yang bukan hak ku. Hak ? kamu paham tidak hak itu apa. Ah jikapun kamu paham, pasti kita berbeda pandangan. Kamu pasti berucap hak itu adalah kalimat syahadah dimana tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah ‘azza wa jalla.

Kami disini berpandangan hak itu ada di pasal 27 dan 28 UUD 1945. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, berhak memeluk agama, berhak mengerluarkan pendapatnya dan masih serentetan hak lainnya yang kami anggap itu hak kami sebagai warga negara. Itu pandangan hak menurut kami. Berbeda bukan ? iya pasti berbeda. Aku telah katakan diawal paragraph sebelum ini, pasti pandangan hak kita berbeda. Iya, kamu mesti tahu. Negara ku ini, negara yang kucintai ini adalah negara yang menuhankan UUD 1945 dan pancasila. Bayangkan saja hukum buatan manusia yakni nenek moyang kami dijadikan pedoman bangsa. Lucu bukan ? manusia yang sejatinya tidak ada daya dan upaya terhadap apapun di dunia dan akhirat  diagungkan di negeri ku ini. Padahal ketika dahulu kami dijajah para nenek moyang kamipun terus berdoa dalam bibirnya ketik berjihad melawan penduduk belanda dan jepang. Kamu tahu bung tomo ? ah aku yakin kamu tidak mengenal. Karena dia hanya manusia biasaa pahlawan kami yang meneriakkan kalimat takbir ketika berperang melawan penjajah.  Tapi kini,,, kalimat itu sudah jarang didengar dari teman-teman disini. Kecuali ketika moment lebaran iedul fithri dan idhul adha dari speaker masjid-masjid rumah kami. Kami disini dibina oleh pemimpin negeri ini menjadi pemuda bermental seng. Kamu tau pasti benda yng bernama seng itu. Seng itu tipis, ketika kena air berkarat dan ketika berkarat mudah rapuh. Kami didik di sekolah hanya mengetahui hak sesama manusia saja. Tapi tidak diberitahu bahwasnya ada hak yang lebih besar dari itu, yakni mengagungkan Rabb kami dan Rabb kalian juga disana. Rabb yang senantiasa menjaga kita dan memberi kasih sayangNya sampai kapanpun.

Kami disini selalu menganggungkan persatuan dan nasionalis. Yang kata mereka akan menyatukan daan membangun negeri ini. Kenyataannya semakin kesini, para saudaraku semakin jauh dari bersatu. Malah kami mulai bersitegang memerebut wilayah kepemimpinan. Kami menjadi ribut soal ini semua. Dan padaa akhirnya kamipun lupa bahwasanya dunia ini hanya selebar sayap nyamuk dan sehina bangkai kambing yang cacat dan hitam. Kami lupa bahwasanya si manusia paling sempurna di dunia ini telah menceritakan banyak kisah kaum yang hancur lebur karena kekuasaan. Ah iya aku ingat, negara kalian yang sedang konflik disana bukankah juga disundut atas ketamakkan musuh kita mengambil wilayahmu dan benar-benar bertekad mengubah aqidah kita. Aku lihat kamu begitu gigih mempertahankan itu semua. Aku pun berharap diri ini dan saudara-sudaraku disini ketika ditimpa perang seperti di negara kalian, kami bisa bertahan dengan aqidah yang kuat seperti kalian disana. Sebentar, aku ingin bercerita tentang sepenggal pembicaraanku dengan kakak iparku kemarin. Dan mungkin ini bermanfaat buat saudara-saudaraku. Ah iya, saudara ku ini. Laki-laki awam yang terbilang tidak taat, tapi hatinya baik. Mudah-mudahan Allah memberikan kami hidayah islam dan sunnah.

“gaza itu ternyata tinggal sedikit ya wilayahnya. Yang heran kenapa negara yahudi itu dengan senjata supernya dan dibeckingin sama AS tidak bisa langsung saja membumi hanguskan wilayah secuil itu.”

Aku terdiam dan baru terpikirkan akan hikmah yang begitu besar atas pernyataan itu. Kamu pasti lebih paham dari kami yang dari usia dasar selalu diberikan pelajaran UUD. Aku termenung atas banyak postingan-postingan di dunia maya yang menyatakan kalian harus hafal Q.S Al Anfal. Aku kembali membuka shirah nabi salallahu ‘alayhi wassalam. Aku ingat sekali kisah nabi tercinta kita itu memasang badan di depan kafir quraisy demi menegakkan agama ini ranum di muka bumi ini. Seorang diri tanpa ibu dan ayah, harus rela menebus raga demi perintah Rabb kita. Kalian sungguh bangsa yang hebat, mampu mencontoh nabi, mempertahankan aqidah demi ranumnya agama kita ini. Aku sungguh terenyuh melihat arti QS. Al Anfal. Sungguh Rabb kita akan menolong agama ini. Iya Dia di ‘arsy sana tidaak akan diam melihat perlakuan orang-orang kafir yang mendustai agama yang mulia ini.

“maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (Q.S. Al Anfal :17)

Sungguh besar bukan kekusaan Rabb kita. Dia di ‘arsy sana tidak akan diam atas makar-makar kaum yahudi wa nahsoro. Dia akan memperlihatkan pada kita azab bagi kaum kuffar sedikit demi sedikit hingga kemenangan yang kita peroleh terlihat dengan baik. Jangan takut kawan, kalian disana menjadi senjata ampuh bagi kami untuk transaksi jual beli kami pada rabb ‘azza wa jalla. Kami berjual beli dengan doa-doa kami untuk kalian dan dengan sedikit materi kami. Ah iya, sungguh amat sedikit sekali. Dan kami (terutama aku) sedih melihat diri ini jauh dari semangat kalian dalam memperoleh jannah-Nya.

-Jakarta, 9 syaawal 1435-

ada saatnya kita berjalan sendiri



Ada saatnya kita berjalan sendiri-sendiri menghadapi kesibukkan masing-masing. Di siang senin ini, matahari terus mengeluarkan terik panasnya hingga antara aku dan bayanganku berhimpitan satu sama lain. Kami berjalan mengikuti arah kesibukkan masing-masing. Oh tidak, kamu tidak melakukan aktivitas apapun. Aku disini sendiri melakukan aktivitasku tanpa siapapun. Oh tidak juga, aku melakukan ini bersama Allah di ‘arsy sana. Dia selalu ada untukku kapanpun dan dalam kondisi apapun. Oh iya satu lagi, Allah tidak akan pernah mendustaiku. Dia selalu menjagaku, meskipun oranglain peduli tapi Dia lebih peduli melebihi kepedulian keluarga kita, begitu kata nabi salallahu ‘alayhi wassalam.

Ada saatnya pembicaraanmu mulai berubah arah layarnya. Dulu, iya dulu sekali ketika kita masih memakai jilbab peniti warna putih. Kemeja warna putih yang diselingi dengan rok abu-abu dan rok putih seringkali pembicaraan ngalor ngidul kita adalah tentang PR, guru pelajaran, peralatan seni rupa, peralatan praktikum biologi, lari-lari ketika olahraga, pidato kepsek, do’a si petugas upacara, pelantikan, kakak kelas, adik kelas, dll. Iya kita dulu asik membicarakan itu semua. Asik makan di masjid, asik ngobrolin acara sekolah serta asik pula membicarakan si dia. Iya si dia, si dia yang kita taksir di dalam diam.

Bukan, tulisan ini bukan untuk membicarakan si dia yang sudah tertinggal bertahun-tahun ke belakang dan saat ini mungkin sudah digantikan posisinya oleh seseorang kunci syurgamu. Yang kemarin kakak kelas bercerita bahkan posisinya melebihi bakti kita pada orang tua kita. Dan aku telisik lagi pada sabdanya salallahu ‘alayhi wassalam ternyata sampai-sampai wanita harus mencium kakinya saking besarnya bakti kita pada dia. Iya dia yang akan menjadi tumpuan layar perahumu.

Pembicaraan kamu akan berbelok layarnya pada kesibukkan mu saat ini, yang mungkin buatku terlalu risih untuk saat ini. Tidak, bukan risih tapi mungkin aku pandang ini terlalu belum bisa kupraktikan secara langsung dalam kehidupanku.  Tidak ada lagi mungkin nanti pembicaraan tentang nasihat menasihati kebaikan lagi. Karena kupukir engkau sudah mencukupi diri terhadap nasihat si pemegang kunci syurgamu. Bahkan kini akulah yang harus terus memahami keadaanmu. Dimana dirimu kini harus membagi waktu untuk mendapatkan syurga-Nya. Iya, kini aku harus membangun benteng pemahaman yang tangguh, hingga ada udzur bagiku memaafkanmu karena kesibukkanmu dalam meraih syurga-Nya.

Pembicaraanmu kini mulai membuka wawasan untuk diriku, bahwasanya hidup dalam bahtera seperti itu tidak sepenuhnya menjanjikan kebahagiaan. Kadang tetes demi tetes air mata menghampiri pipimu yang teduh. Bahkan lebih banyak dari itu. Karena kita dituntut untuk bisa memendam ke-egoan diri sendri, pun kebahagaian untuk hati sendiri. Karena menurutmu, dunia ini sementara. Lagi, lagi kubuka sabda nabi, ternyata dunia ini hanya selebar sayap nyaamuk dan lebih hina dari bangkai kambing yang hitam. Atas dasar hal inipula aku belajar kembali bahwasanya kita harus terus memahami dan memberi udzur pada mereka sahabat tercinta kita yang sudah berbeda setiap kondisi dan keadaannya.

Jangan takut, iya jangan takut kita sendiri. Karena pada asalnya kitapun terlahir di dunia ini sendiri dn nanti beakhir dengan kesendirian. Kita takkan sendiri, karena Dia yang di ‘arsy sana berfirman dalam kitab sucinya yang teramat mulia : “innallaha ma’ashobirin…”. Allah bersama orang-orang yang sabar, maka jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai penolongmu.

Suara alunan ayatNya mulai terdengar sayup dari speaker masjid. Terik matahari mulai berjuntai di setiap sudut bumi ini. Memanaskan aspal yang berdebu dan memberikan peluh bagi orang-orang yang mencari penghidupan di muka bumi ini. Aku mengetik satu per satu huruf ini, seperti menjalani kehidupan ini. Berjalan hari demi hari, hingga menemukan bahwasanya kehidupan ini layaknya menanam sebuah pohon, kelak dengan sabar kita kan meraih buahnya.

Aku belajar darimu betapa rasanya memahami itu indah. Terus menerus memahami keadaanmu hingga tak ada lagi kabar darimu, meski menanyakan sebuah kabar. Tapi tahukah kamu, menunjukkan wajah ceria dihadapan saudaramu adalah shadaqoh. Apalagi sampai berempati pada keadaan saudaramu. Ah, sudahlah. Aku masih punya banyak cadangan rasa memahami.iya memahami keadaanmu saat ini. Hingga mungkin nanti ketika engkau butuh padaku, aku akan tetap menjulurkan tanganku dengan lebar, menyambut dirimu yang ringkih menghadapi persoalan hidupmu disana. Tapi, iya tapi jangan kau berharap pertolonganku. Mintalah pada Dia di arsy sana. Dia sungguh baik, selalu baik bahkan setiap detik pada diriku. Dan aku yakin Dia pun baik padamu yang telah memberikan kunci syurgaNya duluan padamu. Aku iri itu. Sungguh iri padamu yang telah Allah berikan suatu kenikmatan karena memberikan lebih banyak kesempatan lebih dulu menyempurnakan agama padamu hingga lebih banyak kesempatan memberikan pahala dalam berbakti pada kunci syurgamu. Iya, inilah pula suatu alasanku rasa memahamimu hingga kapanpun.

Ah iya, aku lupa. Ada sesorang selain dirimu yang mengatakan padaku. Bahwasanya tak perlu kita memaksakan bisa berada pada tahap dirimu saat ini. Karena untuk mencapai pada fase dirimu, seorang waanita perlu mental yang kuat. Perlu kesabaran yang luas. Seseorang itupun membagikan sedikit ilmunya.ah tidak sedikit, malah sungguh banyak. Bahwasanya kita harus bisa menahan ke-egoan kita ketika kita ditinggaal oleh aktivitas si kunci syurga kita. Kita harus bersabar ketika episode hati kita terluka karena ada seseorang yang Allah ciptakan untuk menguji kesetiaan kita. Ah iya, aku lupa bahwasanya si kunci syurga itu pun rupanya manusia yang memiliki segudang harga diri. Memiliki perasaan pula seperti kita. Maka hendaknya kita menjunjung tinggi perasaannya. Jika tidak suka atas perlakuannya terhadap kita maka hendaknya kita diam. Menyimpan itu semua di dalam hati kita sendiri. Atau bisa berbagi pada-Nya di ‘Arsy sana.

Lagi, lagi akupun lupa bahwasanya kamu layaknya aku yang butuh perhatian. Mencari tempat bernaung atas segala urusan hati yang mengsungkurkan diri kita, hingga tak mampu lagi kita menopang perasaan ini. Dan diri kita pun butuh nasihat dari saudari kita. Iya aku lupa, engkau adalah seorang yang butuh pada yang lain, hingga beban di pundakmu sedikit terangkat. Meski akupun hanya bisa menjadi telinga ketigamu. Menjadi tempat pendengaranmu yang tidak akan tuli sampai kapanpun. Hinggapun kau mau teriak di telingaku, maka kan kubiarkan telinga ini hingga tak dapat lagi membedakan mana kondisimu yang bahagia dan mana kondisimu yang sedih. Semua  tersentuh oleh biasnya kasih sayangku padamu.

Satu lagi kawan menutupi tulisan ku ini di sela-sela penghujung dzhuhur,,,

Aku manusia sama sepertimu yang memiliki perasaan. Dan aku mencukupi diriku pada Rabb yang tak pernah mendustaiku di sepanjang waktu hingga kaki ini melangkah di Jannah-Nya bersama nabi ku tersayang salallahu ‘alayhi wassalam. Aamin.
-         
- Jakarta, Senin 8 syawal 1435-