Angin berhembus kencang. Ku biarkan kain ini berhembus
seiring tiupan sang angin. Ketika perasaan tak mampu lagi menopang beban hati. Mungkin
hanya satu yang ku kerjakan, aku berdiam diri menatap kejauhan langit biru. Menatap
sendunya awan bergerak dihembus sang udara pagi ini. Melihat fenomena ini, aku
semakin yakin bahwasanya manusia mampu menopang perasaan sakit ketika yang
didamba mengkhianatinya. Tak ada yang salah dengannya, mungkin perasaannya saja
yang sedang sendu didera nestapa takdir langit. Setiap hari, semakin jauh ku
berjalan di muka bumi ini, aku semakin memahami perasaan sakit akan terbias
oleh seribu macam aktivitas. Pun termasuk aktivitas yang tak ada manfaat sama
sekali. Seperti menguliti kuku yang panjang, mencoret-coret buku bahkan cerita
pada si bisu buku tulis yang bertelekkan diatas sudut kamar.
Beban hidup yang semakin tinggi mungkin pula sebagai
obat kesibukan yang ampuh bagi perasaan yng sakit. Ketika ucapan-ucapan sabar
dari sekeliling kita tak lagi mampu menembus rasa sakit ini, mungkin ada kala
nya ucapan si pemalas benar. Duduk diam dan tataplah langit hari ini. Mungkin si
yang Empunya langit daan bumi ini sedang menatapmu dari kejauhan di ‘arsy sana.
Bicarakan saja dengan tatapan nanar mu pada-Nya. Sambil duduk malas mungkin kau
bisa membiaskan perasaanmu. Atau mungkin kau perlu sekali-kali berlari-lari
kecil di bawah rinaian hujan. Atau bahkan berkali-kali. Mungkin.
Laju kereta terus berlari hingga menimbulkan getaran
jendela. Padahal rel kereta cukup jauh dari kayu lapuk rumah ini. Tapi aku
masih bisa merasakannya. Bisa merasakan getaran lari kencangnya menembus rel
demi rel hingga stasiun terakhir tiba. Di jejeran rel ini, berdiri banyak
sekali gubuk-gubuk mungil yang penghuninya mungkin sudah kebas oleh getaran si
kereta yang tiap detik berlalu lalang. Ku perhatikn kembali sambil duduk diatas
jok motor, mereka bahagia. Iya mereka bahagia dengan keadaan mereka saat ini. Satu
dua anak kecil duduk di seberang rel. bermain dengan riangnya. Melewati hidup
ini tanpa beban. Berteriak sebebas mungkin, sesuka mungkin dan sekencang
mungkin. Tapi suara mereka kalah oleh getaran dan terompet bel kereta tanda akan
melewati palang rel.
Kebahagiaan itu bukan lagi milik seseorang yang
digariskan oleh takdir menjadi permaisuri setiap hari. Bukan lagi milik sang
raja negara setiap hari. Kebahagiaan ada pada masing-masing lubuk hati
seseoranag yang memahami hakekat hidup ini. Pandanganku tertuju pada seorang
wanita muda yang sedang menggendong permata hatinya. Dengan kain lusuh dan
wajah cokelat karena seringnya terkena debu jalan. Mata itu beribacara, hidup
itu bukan lagi mencari kebahagiaan tetapi hidup itu mempertahankan kebahagiaan
dari dalam hati. Mensyukuri apa yang diberikan dan mengikhlaskan yang telah
ditakdirkan.
Mengikhlaskan apa yang telah ditakdirkan itu bukan
sebuah kata yang mudah diaplikasikan, begitu tulisan update seorang teman. Mengikhlaskan
seseorang yang telah mengkhianati kita itu sungguh berat. Melihatnya bermain
riang dengan kebahagiaan barunya sungguh membuat hati luka. Terkadang hati
memang berontak atas apa yang telah digoreskan tapi untuk menyembuhkannya hanya
butuh ilmu syukur dan sabar. Ah itu mungkin tidak cukup bagiku. Betapapun besarnya
cadangan sebuah rasa syukur dan sabar, mungkin belum bisa instan mengikhlaskan
yang telah terjadi.
Kereta sudah melintasi pintu, kini saatnya aku berlalu
dari lokasi ini. Lokasi yang cukup membuat teduh bagi mereka yang tak tahu
harus mencari penghidupan yang layak di kota besar ini. Kota besar di negara
berkembang. Negara dengan devisa terbesar dari para saudariku yang rela
memutuskan pendidikannya demi sesuap nasi di negeri seberang. Negara yang akan
terus dicap berkembang oleh negara maju di seberang benua sana. Negara yang
mayoritas muslim tapi tak menampakkan kemuslimannya. Mungkin karena nenek
moyang kami yang diasuh oleh nona belanda. Jadi sedikit kami meniru dengan banyak
peraturan dan kebiasaan dari sana.
Malam dihiasi bintang gemintang, aku tak tahu disana
juga dihiasi bintang seperti disini kah?. Akupun tak tahu disana merindukan
kebahagiaan yang sama kah seperti disini? Akupun tak tahu. Besok waktunya
bergegas melintasi garis pantai pulau jawa paling utara. Iya paling utara, dimana
pulau sumatera terlihat begitu megah dari sini. Dari garis pantai ini. Garis pantai
yang sungguh teduh permukaannya. Mempersiapkaan diri untuk berperang dengan
medan area yang kata orang seperti desa tak terurus. Berantakan dari segi akses
dan kesulitan dari segi irigasi persawahan. Dan katanya lagi desa tertinggal
ini desa yang tak pernah terkunjungi sehingga masih asri.
Udara subuh mulai menyerebak, lantunan suara di masjid
sudah mulai terdengar. Subuh itu waktu yang masih asri karena orang-orang
munafik masih tertidur pulas. Subuh dan isya itu waktu berat bagi orang-orang
munafik. Semoga kita tidak termasuk dalam bagian mereka. Subuh pagi hari waktu
dimana kesunyian masih menyeruak. Hati masih teduh dari kehidupaan hiruk pikuk
dunia. Kebahagiaan terus memilin dari langit menuju bumi, memilih orang-orang
yang sudah mulai sibuk beribadah daan membuka harinya dengan lantunan
ucapan-ucapan kebaikan. Subuh ini aku mulai sibuk dengan segala perlengkapan
menuju lapangan. Membuka cakrawala wawasan di desa nun jauh disana. Membuka
mata hati untuk melihat kebahagiaan saudara-saudaraku disana. Dan mengambil
sedikit kebahagiaan yang ada di benak mereka.
Setelah pengarahan dari ibu Kajur, kami lantas
berangkat menuju desa menggunakan bus tiga per empat. Bus yang digunakan
kedinasan tentara. Memasuki area tol, area bebas hambatan. Yang pada kenyataan
sedikit banyak hambatan disini karena jalanan over kuota terhadap penggunaan
jalan ini. Sperti yang kujelaskan tadi, negeri ku ini negara dengan label
berkembang. Pasokan barang-barang mewah masuk dari mana-mana. Dan negeri tujuan
ekspor bagi negara maju seperti jepang, USA, Kanada, Jerman dan negara eropa
lainnya. Banyak sekali mobil baru yang masuk kesini. Tidak ada peraturan yang
signifikan dijalankan oleh negara ini. Semua berhak membeli mobil, berapapun
jumlahnya. Sehingga di ibu kota ini terjadi overlap kendaraan, mulai dari
kendaraan muda sampai kendaraan yang barang bakunya tidak lagi diproduksi
karena terlalu lampau dalam pembuatannya.
Bus sedikit berhenti ditanjakan bukit pandeglang. Jalannya
berliku-liku, naik turun hinggaa bus tua ini harus kehabisan bahan bakar. Dan kami
pun turut beristirahat dengan duduk di pinggir jalan menatap sendunya desa ini.
Pepohonan berdiri tegak, dedaunan menari lepas, angin lembah meniup baju kami. Sungguh
wilayah yang jauh dari kebisingan. Sejuk tak terkira. Bus kembali berjalan
hingga kami menemukan titik garis pantai dimana tak ada lagi penghalang antara
mata kami dengan lautan luas. Tak ada lagi pengahalang antara wajah kami dengan
sunset matahari senja.
Kami tiba sore hari menjelang maghrib dengan sambutan
hangat ibu pemilik cottage. Keramahan yang berkesan dan sambutan air kelapa
muda sungguh kisah yang takkan aku lupakan sampai saat ini. Duduk di pinggir
teras dengan wajah lelah kami menatap sunset senja. Menatap iri pada senja yang
selalu berbahagia ketika hendak pulang ke peraduaannya. Tahukah kamu mengapa
aku senang dengan sunset senja?. Iya aku senang dengan sunset senja karena
selalu menimbulkan siluetnya yang anggun. Menyibak kilau lautan luas hingga
diri ini terbawa oleh sendunya senja sore itu. Menatapnya akan berlari ke
bagian lain, aku sungguh takjub. Melepaskan kepenatan dalam hati dan
meninggalkan seluruh aktivitas dirumah. Aku akan selalu menunggumu. Menunggumu dengan
berdiri bersama siluetku ketika menatapmu. Menunggumu mengakhiri ini semua. Menunggumu
untuk menceritakan kelak nanti aku akan melihatmu dengan dua bayangan…
-bersambung-