Jumat, 16 Oktober 2015

Muara udara


Jika kita sering melihat betapa mudahnya proses siklus udara di dunia ini berputar. Seiring berjalannya hari dan jarum jam di dinding, seiring itu pula kita melakukan proses udara bergerak. Udara bergerak lincah kesana kemari. Hinggap di tubuh yang satu hingga kembali lagi ke langit. Sebegitu tajamnya mata kita , tentu saja kita luput melihat udara yang berproses di lingkungan kita. Ia terus bermetamorfosis dalam tubuh kita hingga kita lupa ternyata dia bekerja terus setiap detik demi eksistensi keberadaan kita di dunia ini.

Aku terus melirik tumpukkan pekerjaan sambil menatap waktu. Berharap aku paham bahwasaanya hidup ini berputar terus. Menarik kita ke dalam fase yang dulu kita tak pernah fikirkan. Menjadi seseorang yang hari-harinya habis dengan kebinasaan. Rutinitas pekerjaan yang setiap hari menggerogoti waktu kita untuk mencari perbekalan. Kadang kita lupa perbekalan kita hanya sedikit. Lantas kita ditrik mundur oleh sang waktu. Diingatkan oleh jarum nan mungil yang berdetak setiap saat. Ada saatnya kita butuh pengingat. Yang mengingatkan kita hanya sebentar disini. Ternyata udara saat ini mengingatkanku. Setiap benda akan kembali ke langit.

Langit. Orang kadang lupa, langit itu tak bertepi. Tak berujung. Daan tak tertembus oleh mata. Udara yang aku hirup saat ini, akan berproses menjadi sesuatu dalam tubuhku. Yang aku akan kembalikan lagi keluar tubuh. Kembali ke langit. Bertemu sebentar dengan tumbuhan dan kembali lagi ke langit. Ah iya, kamu masih ingat kan ? proses sebuah air yang akan dimasak hingga matang. Jika kamu lupa, sini aku ingatkan.

Air dari ujung sungai yang sudah menemui beribu benda di tepian itu kini ada di rumahku. Iya, aku bertemu air. Aku butuh air. Ternyata aku butuh air, agar tubuhku tak kering dimakan panas. Aku mulai memasukkan air ke dalam ceret. Kemudian aku masak diatas api. Hei, aku bertemu api. Yang suatu saat jika tidak hati-hati akan membakarku, paling tidak ia akan mencipratkan suhu panasnya. Iya , aku harus hati-hati. Hati-hati dengan kamu. Api. Kemudian aku menunggu, agar air itu matang. Tandanya, akan keluar uap dari mulut ceretnya. Ah, iya aku bertemu kamu kembali udara. Udara yang membawa uap air. Lantas kamu akan ke langit membawa air.

Kamu. Hei udara, jangan terlalu tergesa-gesa membawa air ke langit.
“srtsssssss…” kulitku terasa panas menyentuhmu udara.
Hei, udara. Sampaikan pada langit. Aku menatapmu dari bawah sini.